REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski kian hari kian tumbuh, Islam di Kota Havana masih menghadapi beragam tantangan, bahkan prasangka. ‘’Kadang bahkan sesama teman pun menyebut ‘teroris’ dengan bercanda,’’ kata Pedro yang dikenal sebagai Imam Yahya oleh Muslim Havana dalam sebuah wawancara dengan CNN, beberapa waktu lalu.
Saat ini, lanjutnya, terdapat 300 orang penduduk Havana yang berpindah agama ke Islam, dari sekitar 1.500 Muslim yang ada di Kuba. Sebagian besar penganut Islam di Havana adalah diplomat dan pelajar asing seperti dari Pakistan dan Indonesia. Namun, tak sedikit penduduk asli Havana yang beralih keyakinan menjadi Muslim, seperti dia.
Hal yang sama diungkapkan pula oleh Muslimah Kuba, Noalia Gladys Carmen Perez. Menurutnya, dia dan beberapa Muslim lainnya pernah meng alami sejumlah penentang an terkait keyakinan yang mereka anut. ‘’Terkadang, saya bertemu dengan orang-orang yang tidak menyukai saya.’’
Selain itu, Muslim di Havana juga masih menghadapi banyak tantangan, salah satunya dalam mengimplementasikan perintah untuk menjaga makanan. “Di Havana, babi masih menjadi daging paling populer. Babi masih jadi barang menarik, seperti halnya semua benda yang buruk,” kata Noalia. Karena itu, lanjut dia, tak sedikit Muslim di Havana yang menganggap tidak masalah bila mereka bersikap fleksibel atas larangan menyantap daging babi.
Dalam pergaulan, umat Islam di kota ini juga mengalami sedikit kesu litan, utamanya terkait dengan ke biasaan pria dan wanita di sana un tuk saling menyapa disertai kecupan di pipi. Ibrahim Kinsan, seorang mualaf, mengaku tidak bisa benar-benar meninggalkan kebiasaan tersebut. Apalagi sebagian besar rekan kerjanya adalah kaum wanita. “Sekarang saya sudah masuk Islam, tapi saya tidak bisa langsung berubah menjadi orang asing. Kebanyakan dari mereka menyapa saya dengan kecupan dan tradisi itu tidak akan hilang,” katanya.
Bagaimana dengan jilbab? Menurut Noalia, jilbab tak pernah menjadi masalah di sekolah-sekolah di Havana. Hal ini disebabkan karena Islam masih relatif baru di negara tersebut. Namun, ia mengakui, komentar-komentar tidak sedap cukup sering ia dengar. “Mereka akan berkata, ‘Pasti sangat panas,’ dan komentar-komentar lainnya yang bernada mengkritik,’’ katanya.
Meski jilbab tak menjadi masalah, namun hanya sedikit Muslim yang bisa menunaikan shalat di tempat kerjanya, baik karena jadwal mereka atau norma sosial yang tidak mengizinkannya. Akibatnya, masyarakat Muslim Havana lebih sering melaksanakan shalat di rumah. Hal ini juga disebabkan oleh belum adanya masjid di Havana.
Beragam tantangan itu tak lantas membuat Muslim di ibu kota Kuba ini nelangsa. Dengar saja apa yang dikatakan Pedro. ‘’Tantangan ini harus bisa dihalau oleh Muslim di Havana,’’ ujar dia, mantap. Baginya, jumlah tidak terlalu penting dibandingkan kualitas keimanan Muslim di kota ini.