Sabtu 15 Apr 2017 19:02 WIB

Asal-Usul Bom 11 Ton Amerika Serikat yang Dijatuhkan di Afganistan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Serangan bom mematikan di Afganistan.
Foto: Reuters
Serangan bom mematikan di Afganistan.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Ibu dari semua bom seberat 11 ton yang dijatuhkan pasukan AS ke wilayah ISIS di Afghanistan memiliki latar sejarah khusus. Bom bernama Ordnance Air Blast Bomb atau MOAB ini sebelumnya dikembangkan untuk melawan pasukan Nazi dalam Perang Dunia II.

Bom dengan Guided Bomb Unit (GBU) 43 itu hanya ada 15 unit yang diproduksi oleh AS. MOAB semakin dikembangkan militer AS untuk dijatuhkan ke dalam sistem terowongan Alqaedah dalam perburuan Osama Bin Laden pada 2001.

Namun faktanya, MOAB tidak pernah digunakan dalam pertempuran. Sampai akhirnya pada Kamis (13/4), pesawat MC-130 milik AS menjatuhkan bom tersebut di distrik Achin, wilayah Nangarhar, Afghanistan, yang berbatasan dengan Pakistan.

Dalam laporan terakhir, para pejabat Afghanistan mengatakan serangan itu menewaskan sebanyak 90 militan ISIS. Akan tetapi, kantor berita yang berafiliasi dengan ISIS di Timur Tengah telah memuat pernyataan yang menyangkal bahwa anggota mereka menjadi korban dalam serangan itu.

Seorang pejabat AS yang memantau serangan itu mengatakan, sulit menentukan berapa banyak militan ISIS yang mungkin telah dimakamkan di kompleks bawah tanah. Namun menurutnya, jumlah militan tewas bisa sangat signifikan mengingat serangan dilakukan pada waktu ibadah shalat.

Komandan AS di Afghanistan pada Jumat (14/4) mengatakan, keputusan untuk menggunakan salah satu dari bom konvensional terbesar di Afghanistan adalah murni karena siasat militer. Sementara, para pakar mengatakan penggunaan bom itu merupakan keputusan yang paling tepat untuk menargetkan terowongan dan gua-gua di daerah yang tidak dihuni warga sipil.

Kejutan serangan MOAB tidak hanya dirasakan oleh para militan ISIS, tetapi juga oleh Korea Utara dan Iran. Korea Utara tengah mengembangkan program senjata nuklir bawah tanah dan Iran memiliki fasilitas pengayaan uranium besar terkubur dalam pegunungan granit.

Seorang pejabat pemerintah AS yang berbicara secara anonim mengatakan, Presiden AS Donald Trump telah memberikan kebebasan pengendalian operasi kepada komandan militer AS, dibandingkan dengan pendahulunya, Barack Obama.

"Apa yang saya lakukan adalah saya sedang memberi wewenang militer. Kami memiliki kekuatan militer terbesar di dunia, dan mereka telah melakukan pekerjaan, seperti biasa. Kami berikan kepada mereka otorisasi penuh dan itulah apa yang mereka lakukan," kata Trump wartawan, Kamis (13/4), dalam menanggapi pertanyaan tentang penggunaan bom MOAB, dikutip Alarabiya.

Serangan bom MOAB di Afghanistan terjadi kurang dari sepekan setelah Trump memerintahkan penembakan 59 rudal Tomahawk ke lapangan udara Shayrat di Suriah, sebagai balasan atas serangan senjata kimia di Khan Seikhoun. Serangan rudal Tomahawk itu dianggap sebagai sinyal kekuatan dari AS kepada Korea Utara, yang telah melakukan uji coba rudal dan nuklir.

"Tentu saja ada unsur pemberian sinyal, mungkin akan menjadi sinyal untuk Suriah dan Korea Utara. Tentu juga menjadi sinyal untuk ISIS, bahwa seberapa keras mereka mencoba bersembunyi dan seberapa dalam mereka menggali, kami tetap bisa mendapatkan mereka," ujar purnawirawan Korps Marinir AS dan spesialis persenjataan, Mark Cancian.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement