REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Korelasi positif antara kedamaian dan kemajuan suatu bangsa, agaknya tak terbantahkan dalam perjalanan sejarah negara-negara yang mencapai kemakmuran. Hubungan kedua variabel itu kembali dikemukakan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang merumuskan kedua variabel itu dengan kalimat yang berbeda, tapi semakna.
Kalla mengatakan, bahwa kedamaian merupakan syarat bagi suatu negara untuk meraih cita-citanya menjadi negara maju yang makmur. "Tidak ada negara yang maju tanpa kedamaian. Kedamaian artinya saling menghormati, hidup rukun dengan sebaik-baiknya, saling mengamalkan keyakinan kita secara baik," kata Wapres saat membuka Pekan Kerukunan Nasional 2017 dan Pembukaan Global Christian Youth Conference di Manado.
Pernyataan Kalla itu tampaknya bisa dijadikan pengingat dalam konteks politik di Tanah Air yang masih mengalami persoalan dalam menata hubungan antara praksis keimanan dan perpolitikan. Dalam berbagai perhelatan kampanye politik, entah dalam pilkada ataupun Pemilihan Umum Presiden RI, kontestasi politik itu sering menyeret-nyeret perkara keimanan ke ranah publik untuk perebutan kursi kekuasaan.
Itu sebabnya selalu ada pertikaian yang menyebabkan terjadinya kegaduhan beraroma keagamaan, setidaknya di tingkat para pendukung kontestan dalam perebuatan kuasa politik. Yang terjadi ketika kampanye politik berlangsung adalah usaha masing-masing pendukung kontestan yang berlaga dalam perebutan kursi kekuasaan untuk saling memfitnah, mengafirkan, dan mendegradasikan kualiatas iman lawan.
Situasi demikian jelas jauh dari kedamaian yang perlu dibangun dengan menjauhkan aksi mempertajam perbedaan sesama warga meski dalam kubu pendukung kontestan yang saling berkompetisi. Dalam konteks ini, Kalla mengatakan, bahwa dalam menjaga kedamaian dan perdamaian, warga masyarakat perlu mengutamakan persamaan dan menghormati perbedaan.
Perbedaan itu tentu menyangkut apa yang selama ini diformulasikan dalam akronim SARA, yang dipanjangkan menjadi suku, agama, ras, dan antargolongan. Namun, diakui atau tidak, di antara empat elemen primordial itu, anasir agamalah yang paling rentan dalam menimbulkan ancaman perpecahan dan mengoyak kedamaian dan perdamaian.
Padahal, seperti kata Kalla, semua agama mempunyai tujuan yang sama, yaitu kebaikan dan tidak ada agama yang menghendaki keburukan.
Agama-agama memiliki persamaan, yakni percaya dengan Yang Mahakuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyanyang, meskipun dengan istilah dan pemahaman yang berbeda.
Itu sebabnya, Kalla mengajak rakyat untuk menghormati perbedaan, yang merupakan syarat penting untuk meraih kemajuan suatu bangsa. Toleransi, saling menghormati satu sama lain adalah keniscayaan bagi kemakmuran.
Sinyalemen senada juga pernah dikemukakan pengamat politik Azyumardi Azra yang sering menjadi pembicara dalam dialog antaragama di tataran internasional. Menurut Guru Besar dan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (dua periode 1998 s.d. 2006) itu, pertikaian politik yang mengusung unsur keimanan bisa menjadi biang keladi kehancuran sebuah negara.
"Sejumlah negara-negara di Timur Tengah yang dilanda konflik berlandaskan keimanan cenderung menjauh dari stabilitas dan kedamaian yang menjadi prasyarat membangun kesejahteraan bangsa," katanya.
Elite politik di Tanah Air, kata dia, tentu perlu menyadari bahwa menyeret-nyeret perkara iman dalam ranah politik dapat mengoyak kestabilan. Apalagi, sebagian besar rakyat di Indonesia masih mudah tersulut atau termakan oleh hasutan yang beraroma primordialisme.