REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Machasin, menyatakan, berperannya ulama perempuan dalam ruang publik yang sudah didominasi laki-laki tidak berarti ulama perempuan tersebut mesti bersaing.
‘’Tapi mengisi apa yang belum terisi, meluruskan yang menyimpang dan memberikan kelembutan, cinta, keteguhan, ketahanan, kecermatan, dan keindahan pada ajaran dan praktik-praktik agama,’’ kata Machasin, dalam seminar nasional yang menjadi rangkaian kegiatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Kebon Jambu al Islamy, Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Rabu (26/4).
Machasin menyebutkan, setidaknya ada tiga kekuatan ulama perempuan yang jarang dimiliki oleh ulama laki-laki. Yakni ilmu agama yang peka terhadap adanya ketidakadilan dan penindasan, kelembutan serta kepemimpinan yang melindungi dan mencintai umat yang dipimpinnya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua Yayasan Fahmina Cirebon, Husein Muhamad menyebutkan, peradaban Islam di tiga tempat di dunia telah menunjukkan posisi, peran dan aktivitas kaum perempuan Islam di atas panggung sejarah. Yakni di Damaskus, Baghdad dan Andalusia.
Di ketiga tempat itu, banyak perempuan yang menjadi ulama, cendikia, intelektual dan professional dengan beragam keahlian dan dengan kapasitas intelektual yang relatif sama bahkan sebagian mengungguli ulama laki-laki. Menurut Husein, fakta-fakta historis itu telah menggugat anggapan banyak orang bahwa akal, intelektualitas dan moralitas perempuan lebih rendah dari akal, intelektualitas dan moralitas laki-laki.
‘’Islam memang hadir untuk sebuah cita-cita kemanusiaan, yakni membebaskan penindasan, diskriminasi dan kebodohan menuju perwujudan kehidupan yang setara berkeadilan dan berilmu pengetahuan untuk semua manusia, baik laki-laki dan perempuan,’’ tandas Husein.