REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Target program sertifikasi tanah yang dibuat pemerintah dinilai bakal sulit tercapai. Tahun ini, pemerintah menargetkan sertifikasi lima juta bidang tanah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Ketua Umum Forum Anti Korupsi dan Advokasi Pertanahan Anhar Nasution menilai, target tersebut terlalu tinggi dan tidak sesuai kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki. "Sebuah target yang amat fantastis dan fenomenal jika bisa diwujudkan. Masalahnya, apakah aparat, tenaga atau staf di kementrian mampu melaksanakannya," kata Anhar, Kamis (27/4).
Menurut dia, pemerintah sejak 1984 sudah tidak lagi mendidik dan melahirkan petugas ukur. Dia memperkirakan, jumlah juru ukur yang dimiliki pemerintah saat ini tidak lebih dari 2 ribu orang di seluruh Indonesia. "Itu pun tidak semuanya memiliki pengetahuan yang mumpuni di bidang pengukuran," katanya.
Mantan anggota DPR yang pernah menjadi pimpinan panja pertanahan tersebut menjelaskan, pada umumnya satu orang juru ukur hanya mampu menghasilkan kurang dari 10 sertifikat tanah dalam sebulan. Kata dia, proses pengukuran, pemetaan, penggambaran dan pengadministrasian membutuhkan waktu hingga dua pekan.
Dia menjelaskan, untuk mengukur secara akurat, seorang juru ukur harus mengukur langsung di lapangan dengan metode pengukuran secara terestris yang memastikan mengenai letak, batas tiap bidang tanah, dan penghitungan luas.
Bukan hanya itu, pengukuran harus juga dihadiri oleh orang atau pihak pemilik lahan di sebelah lokasi tanah yang diukur. "Harus juga ada persetujuan batas-batas bidang tanahnya dengan berita acara untuk menghindari terjadinya sengketa batas kepemilikan tanah," ujarnya.
Anhar berharap pemerintah dapat memberikan pendampingan terhadap masyarakat yang mendapatkan sertifikasi tanah secara gratis. Jangan sampai sertifikat yang dimiliki dipakai untuk mengajukan kredit konsumtif seperti membeli kendaraan. "Ini tidak akan membawa manfaat dan menjadi pemborosan APBN," katanya.