REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Pertemuan Menteri Luar Negeri negara-negara anggota ASEAN (AMM) di Manila, Filipina Jumat (28/4) waktu setempat menghasilkan usulan kode etik maritim antara Asia Tenggara dan Cina harus mengikat secara hukum. Hal ini menurut Sekjen ASEAN Le Luong Minh untuk menghentikan tindakan sepihak di Laut Cina Selatan. Mengingat komitmen sebelumnya untuk berlaku adil telah diabaikan.
Hasil diskusi tersebut belum mendapatkan persetujuan dari Cina. Akan tetapi mereka berharap agar satu paket peraturan dapat segera disepakati untuk menangkal perselisihan dan militerisasi.
"Bagi ASEAN, kerangka kerja seperti itu harus memiliki unsur-unsur yang substansial. Dan kode etik semacam itu harus mengikat secara hukum," ujarnya, Jumat (28/4).
Beberapa anggota ASEAN yang terdampak dalam hal ini, yaitu Malaysia, Vietnam, Filipina dan Brunei telah lama menantikan agar Cina bersedia menandatangani kode etik yang harus dipatuhi dan ditegakkan. Seperti diketahui Cina telah mengklaim kedaulatan di hampir seluruh wilayah di Laut Cina Selatan.
Sebelumnya Cina telah bersedia bekerja sama untuk membuat kerangka kerja kode etik dengan ASEAN. Namun 15 tahun kemudian Beijing seperti melupakan kesepakatan tersebut karena pihaknya telah gencar mengembangkan tujuh pulau buatan di Spratly.
Bahkan saat ini Beijing telah memasang radar, landasan pacu, hanggar, dan rudal pada beberapa pulau buatan tersebut. Hal ini memunculkan kekhawatiran bagi negara-negara yang bersinggungan mengenai rencana jangka panjangnya.
Semua pihak di ASEAN mengingingkan kerangka kerja tersebut bisa diselesaikan tahun ini. Kerangka kerja itu melanjutkan Deklarasi Perilaku (DOC) 2002 di Laut Cina Selatan. Yang berkomitmen untuk mematuhi hukum internasional, memastikan kebebasan navigasi dan tidak menempatkan warganya di pulau-pulau tak berpenghuni maupun yang masih bersengketa.