REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia (HEPI) Bahrul Hayat mengatakan, ada empat dimensi atau isu yang mengubah jawaban kurikulum. Ia mengatakan, sejatinya pertanyaan kurikulum ini sama sejak abad 20 lalu hingga kini tetapi jawabannya selalu berbeda.
Ia menyebut Unesco Perserikatan bangsa-Bangsa tahun 1996 meramalkan abad 21 manusia harus bisa empat hal. Pertama learning to know yaitu apa yang dia harus dia tahu. Kemudian learning to do yaitu apa yang diperbuat. Ketiga, learning to be menjadi apa dan learning to live together bisa hidup bersama.
Kemudian ia mengutip menurut dokumen komisi kebijakan Amerika tahun 1938 ternyata hampir sama yaitu learning to be, learning with together, learning to do. Pertanyaan inti, kata dia, hanya ada dua yaitu apa yang mau diajarkan dan apa yang siswa akan pelajari. Pertanyaan kedua adalah bagaimana cara mengajar yang efektif dan cara siswa belajar yang efektif.
"Jawaban yang beda ini ada empat dimensi/isu yang mengubah jawaban itu," kata dia di hadapan guru di seminar bertema 'Kehidupan Menuju Revolusi Pendidikan', di aula Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, di Jakarta, Sabtu (13/5).
Pertama, kurikulum di masa depan ini apa. Karena ini kurikulum bangsa. Kedua, perkembangan sains dan teknologi seperti apa. Artinya mengikuti perkembangan teknologi saat ini. Ia menyontohkan dulu Indonesia memiliki 33 provinsi dan sekarang bertambah satu menjadi 34. Ketiga, teori belajar ini selama ratusan tahun apa yang berkembang sekarang. Terakhir, assesment atau penilaian.
"Empat isu ini yang membuat perubahan kurikulum," ujarnya. Jadi, kata dia, pertanyaan sama, jawaban yang harus berbeda. Untuk itu, ia meminta kurikulum dan pengajaran fokus empat ini.
"Yakinkan menguasai empat ini. Saya mau anak bisa apa, berikan pengalaman apa, bagaimana mengorganisasikan dengan efektif pengalaman ini," katanya. Ia menambahkan, model terlemah kurikulum adalah terlalu banyak yang diinginkan kurikulum tapi kedalamannya sangat dangkal ibaratnya hanya satu inchi saja. ia juga mengkritisi kurikulum harusnya penting membuat kurikulum dimana jalan anak menuju apa yang dia harus tahu dan setahap demi setahap secara vertikal menjadi bagian utama perubahan kurikulum.
"Selain itu pahami anak tidak sama pintarnya. Butuh kesabaran untuk menghadapi perbedaan," ujarnya. Ia menambahkan, para guru tidak perlu ajarkan semua tapi meaning harus ditangkap. Yang juga tak kalah penting terkait proses hingga kemauan siswa.
Jadi bergerak dari nol ke satu dan seterusnya. Keberhasilan belajar juga ditentukan emosi. Keberhasilannya bisa lebih 50 persen. Selain itu ia juga meminta guru memiliki bukti potensi masing-masing anak. Sayangnya, ia menyebut guru hanya mencatat nilai-nilai anak.