Kamis 18 May 2017 21:46 WIB

Dewan Pers: Pikirkan Dampak Berita yang Dibuat

Rep: Mursalin Yasland/ Red: M.Iqbal
Wartawan mengambil foto surat permohonan pemeriksaan praperadilan sebelum persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (8/5).
Foto: Republika/ Wihdan
Wartawan mengambil foto surat permohonan pemeriksaan praperadilan sebelum persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (8/5).

REPUBLIKA.CO.ID,BANDAR LAMPUNG – Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat Pencegahan Etika Pers Dewan Pers Imam Wahyudi mengimbau kepada jurnalis untuk tidak sekadar membuat berita yang didapat. Jurnalis seyogianya juga memikirkan dampak atau efek berita tersebut setelah dipublikasikan.

“Kepada jurnalis, mari kita pikirkan apa dampak beritu itu pada masyarakat. Bukan sekedar membuat beritanya, tapi apa efeknya,” kata Imam pada acara Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat digelar Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Lampung di Bandar Lampung, Kamis (18/5).

Mantan jurnalis televisi tersebut mengatakan, bagi wartawan yang bekerja di perusahaan pers hendaknya memperhatikan efek dari berita yang dibuat untuk dipublikasikan.  Sebab, sekarang masih ada pekerjaan rumah perihal kesesuaian nilai berita dengan nilai-nilai di masyarakat.

Ia mencontohkan di dalam shalat. Bila batas aurat lelaki mulai dari pusar sampai lutut, maka seseorang bisa shalat dengan hanya menggunakan sarung saja asalkan menutup aurat.

“Nah kalau kita shalat hanya pakai sarung saja, ini boleh, tapi ini akan bermasalah di tempat itu,” ujarnya.

Kepada masyarakat, Imam berpesan untuk tidak langsung membagikan berita yang diterima kepada orang lain melalui media apa pun, termasuk media sosial. Berita atau informasi yang diterima, hendaknya diklarifikasi, diverifikasi, dan dicari kebenarannya, agar berita atau informasi tersebut tidak meluas bila ternyata hoaks.

Ketua FKPT Lampung Abdul Syukur mengatakan, Indonesia saat ini menjadi sasaran transideologi dunia sampai ke daerah termasuk di Lampung. Menurut dia, banyak masyarakat yang mentah-mentah menerima berita/informasi atau paham yang bungkusnya menyejukkan namun isinya menyengsarakan.

“Banyak orang biasa, karena tidak paham mudah termakan informasi yang tidak benar, lalu mengikuti paham yang tidak sesuai,” katanya.

Munculnya aksi radikalisme dan terorisme, menurut Abdul, mengatakan karena banyak yang tidak paham dan mengecek kebenaran informasi atau berita yang beredar cepat di media sosial, sehingga terpengaruh dan mengambil jalan pintas.

“Aksi radikalisme dan terorisme itu motifnya tidak hanya faktor ekonomi semata. Semua lini masyarakat bisa terpengaruh, baik kaya-miskin, pintar atau tidak pintar,” ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement