REPUBLIKA.CO.ID, Dalam historiografi dan mitologi Israel, Perang Enam Hari antara Israel dan Arab Saudi merupakan kemenangan militer yang terkenal dan memastikan kelangsungan hidup negara Yahudi baru lahir dan menetapkannya sebagai kekuatan regional. Prestasi militer itu terlihat jelas saat wilayah negara tersebut meningkat empat kali lipat. Berikut adalah analisis dari Profesor Hubungan Internasional Regent’s University London Yossi Mekelberg, yang dimuat di Arab News, Ahad (4/6).
Dalam perang tersebut Israel berhasil menduduki Semenanjung Sinai, Dataran Tinggi Gola, Tepi Barat dan Gaza. Akan tetapi, hal itu, tidak menjamin keamanan yang langgeng, atau mengakhiri konflik dengan negara tetangganya. Selain itu, perang ini membuat masyarakat Israel secara diam-diam berubah tanpa dikenali, dan tidak menjadi lebih baik.
Israel pada1967 adalah sebuah negara kecil yang hanya berpenduduk kurang dari tiga juta orang. Sekitar separuh dari mereka adalah migran dan pengungsi. Mereka hidup dengan minoritas Arab Palestina yang besar yang diperlakukan dengan penuh kecurigaan yang seolah-olah bukan warga negara tersebut. Negara baru itu sedang dalam proses membangun identitas dirinya, sambil berjuang mengatasi masalah keamanan dan isolasi yang lengkap di wilayah ini.
Israel sepenuhnya menolak bagaimana operasi Zionis mempengaruhi rakyat Palestina. Mereka sama sekali tidak menyadari korelasi antara kemerdekaan negaranya dan Nakba (malapetaka) yang menimpa orang-orang Palestina. Karena mereka menghancurkan banyak kota dan desa Palestina dan memaksa mereka untuk mengungsi. Perang selama enam hari ini menambahkan dimensi baru untuk isu ini.
Perang yang dimulai pada 5 Juni 1967 itu membuat persepsi dunia terhadap Israel berubah total. Perang itu dianggap salah perhitungan, di mana semua pihak tersedot masuk tanpa tujuan strategis yang jelas. Menjelang akhir perang, Israel lebih siap untuk itu, namun tidak memiliki strategi yang koheren dan bijaksana mengenai apa yang harus dilakukan dengan wilayah luas yang baru saja diduduki.
Bagi individu yang berpikiran aman, hasil perang memberi rasa tak terkalahkan melalui kedalaman strategi yang mendorong perbatasan Israel menjauh dari pusat-pusat populasi. Bagi orang lain, ini juga merupakan katalisator munculnya mesianis-religius-nasionalistik Zionisme.
Beberapa menafsirkan kemenangan militer yang tergolong cepat dan menentukan itu sebagai hasil campur tangan Sang Kuasa. Pemicu utama pemikiran ini adalah pendudukan Yerusalem Timur dan Tepi Barat, yang merupakan tempat lahir Yudaisme dan rumah bagi tempat-tempat suci mereka.
Konsekuensi yang tak terelakkan dan salah arah dari pendekatan ini adalah gerakan pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Gaza. Lima dekade kemudian, wacana ini mengambil alih perdebatan sosial dan politik di Israel dengan konsekuensi yang menghancurkan.” Kemenangan militer Israel itu telah berubah menjadi piala beracun tanpa kepemimpinan. Secara radikal ini mengubah menjadi jalan buntu yang terjadi saat ini dengan orang-orang Palestina,” kata Mekelberg.
Perang itu juga menunjukkan bahwa Israel tak terkalahkan di medan perang. Meskipun itu tidak cukup untuk mendapatkan pengakuan regional yang didambakan Israel. Bagi mereka yang mendukung paradigma keamanan, perluasan teritorial ini memberikan keamanan yang nyata pada kebanggaan diri. Namun mereka tidak sadar bahwa itu dapat meningkatkan perang dengan Mesir dan Suriah. Termasuk perlawanan dari orang-orang Palestina yang berada di wilayah pendudukan.
"Lebih baik Sharm El-Sheikh tanpa perdamaian daripada perdamaian tanpa Sharm El-Sheikh,” demikian slogan yang digaungkan Menteri Pertahanan Israel selama perang Jenderal Moshe Dayan. Hal inilah yang memicu perang yang lebih besar dengan ribuan korban. Di mana salah satu dari mereka yang memimpin proses perdamaian dengan Mesir pada akhir 1970-an, termasuk penarikan lengkap dari Semenanjung Sinai.
Bagi para ahli strategi Israel yang cerdik, wilayah-wilayah pendudukan tidak lebih dari sekadar tawar menawar yang memberikan keamanan jangka pendek sampai diperdagangkan untuk perdamaian. Lima dekade kemudian, wilayah perdagangan untuk perdamaian dengan Suriah tidak layak dilakukan, dan proses perdamaian Israel-Palestina terhenti total.
Warisan yang paling mengganggu dari Perang Enam Hari itu adalah pelestarian pendudukan Tepi Barat dan blokade Gaza. Di situlah ideologi religius mesianik ekstrem nasional ditambah dengan argumen keamanan telah disemen melalui bangunan ilegal permukiman Yahudi. Hal ini meruntuhkan kemungkinan pencapaian kesepakatan damai di bawah solusi dua negara. Pendudukan Israel merupakan sebuah degradasi moral dan tanpa menghiraukan hak asasi manusia, dan menjadi akhir dari mimpi demokrasi.