REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menilai kebijakan lima hari delapan jam belajar di sekolah yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berpeluang melanggar sejumlah undang-undang.
"Kebijakan baru itu berpeluang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen," kata Susanto melalui pesan tertulis di Jakarta, Senin (12/6).
Susanto mengatakan kebijakan baru tersebut berpeluang bertentangan dengan Pasal 51 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan.
Pasal tersebut berbunyi "Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah".
"Dengan Pasal tersebut, maka satuan pendidikan memiliki kemandirian untuk mengembangkan pilihan model sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan masing-masing sekolah atau madrasah," tuturnya.
Kebijakan lima hari delapan jam belajar di sekolah juga berpotensi bertentangan dengan Pasal 35 Undang-Undang Guru dan Dosen. Ayat (1) Pasal tersebut berbunyi "Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan".
Sedangkan Ayat (2) berbunyi "Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu".
"Dengan kebijakan baru lima hari delapan jam belajar di sekolah, guru berpeluang besar mengajar melampaui jumlah jam mengajar di sekolah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut," katanya.
Karena itu, KPAI meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar mengkaji kembali rencana kebijakan tersebut. Menurut Susanto, membangun sistem pendidikan harus menyeluruh.
Pendidikan harus memperkuat sistem layanan pendidikan di sekolah dan peran keluarga dalam pengasuhan atau pendidikan sebagai sekolah pertama bagi anak serta keterlibatan masyarakat.
"Anak yang menjadi pelaku tindakan menyimpang bukan karena kekurangan jam belajar di sekolah. Yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi layanan pendidikan di sekolah, memperkuat peran keluarga dan memastikan keterlibatan lingkungan sosial," katanya.