Rabu 14 Jun 2017 21:19 WIB

Menyikapi Perbedaan

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Kerukunan Beragama (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Kerukunan Beragama (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Selama berada di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW hidup di tengah-tengah ke profanan komunitas Arab jahiliah. Patung berhala masih banyak berdiri kokoh di sekitar Ka’bah atau di rumah-ru mah mereka. Menyikapi kondisi itu, se bagai seorang yang bijak, Nabi tak lantas menghancurkan simbolsimbol kekufuran itu.

Demikian pula sikap bijak Rasulullah terhadap para munafi k. Rasul sengaja membiarkan dan tidak membunuh mereka. Ini agar tak timbul persepsi dan opini negatif bahwa Nabi membunuh koleganya sendiri.

Penyikapan tersebut menunjukkan bahwa anarkisme, perusakan, main hakim sendiri, dan ragam jenis intimidasi lainnya terhadap lawan yang berbeda mestinya dihindari. Tindakan-tindakan antihukum itu bila tetap dilakukan bakal memicu kerusakan yang lebih besar. Hal itu bertentangan dengan kaidah syariat.

Hidup di tengah-tengah masyarakat yang heterogen, jelas Prof Hani bin Abdullah al-Jabir dalam artikelnya yang berjudul “Min Adab Al Khilaf wa at-Ta’amul Ma’a al Mukhalif”, niscaya menghadapi keberagaman. Beda suku, etnis, agama, atau afi lisasi politik. Masingmasing individu atau kelompok memiliki cara pandang sekaligus argumentasi untuk menguatkan pendapat mereka.

Keberagaman ini tak jarang pula memicu gesekan-gesekan kecil. Satu dari beberapa bahkan menimbulkan konfl ik horizontal. Selain mungkin ada pihak ketiga yang memancing di air keruh, diakui atau tidak, memang kesadaran saling menghormati dan menghargai perbedaan tersebut masih perlu ditingkatkan, untuk tidak dibilang minim.

Lantas, bagaimana kaidah menyikapi sebuah perbedaan dan mengelolanya agar tak berdampak negatif?

Ia menerangkan deretan kaidah yang penting diperhatikan menyikapi perbedaan pendapat. Ini penting, mengingat kecenderungan saat ini yang muncul di dunia Islam adalah fanatisme berlebihan dari kelompok radikal dan fundamental. Sikap apriori yang ditunjukkan kepada pihak yang berbeda, sebagiannya ber ujung pada aksi anarkisme. Seperti pembakaran tempat ibadah dan perusakan hingga penganiayaan. “Kondisi itu patut disayangkan,” katanya.

Hal pertama yang ia garisbawahi ialah bersikap proporsional. Perbedaan tidak akan berujung konfl ik selama tidak disertai dengan sentimen dan kebencian. “Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.”

Ia mengutip komentar Ibnu Taimiyah atas perintah berbuat adil dan proporsional terhadap lawan yang tertuang di Surah al-Maidah ayat 8. Sekalipun, musuh yang bersangkutan adalah orang kafi r. Menurut tokoh yang hidup di abad ke-8 Hijriah itu, jika terhadap kafi r sikap proporsional sangat ditekankan, tentunya seruan serupa juga lebih utama bagi sesama Muslim yang berbeda pendapat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement