Selasa 20 Jun 2017 01:26 WIB

Faisal Basri: Ubah Paradigma Mengenai Gula Rafinasi

Gula Rafinasi Sitaan. Petugas memeriksa gula rafinasi sitaan di Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat, Rabu (24/6).   (Republika/Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Gula Rafinasi Sitaan. Petugas memeriksa gula rafinasi sitaan di Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat, Rabu (24/6). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Cara pandang dalam penanganan kasus gula rafinasi dinilai masih keliru. Pengamat ekonomi yang juga mantan Satgas Pemberantasan Mafia Migas Faisal Basri mengatakan Pemerintah Indonesia harus mengubah paradigmanya mengenai gula rafinasi. 

Menurut Faisal Basri, penanganan yang keliru terhadap kasus gula rafinasi justru akan menjadi faktor utama yang akan mengubur target pertumbuhan ekonomi Pemerintahan Jokowi-JK 2017. Pasalnya menurut Faisal Basri, sektor makanan dan minuman yang menjadi merupakan konsumen utama gula rafinasi sepanjang 2011-2015  adalah industri yang tumbuh sekitar 8,5 persen per tahunnya. Artinya pasokan gula juga meningkat sebesar itu. 

Persoalannya pasokan gula dalam negeri sangat kecil karena persoalan ketersediaan lahan tebu. Ketimbang terjebak dalam ketergantungan impor yang berpotensi memboroskan devisa dan terbukti bocor di mana-mana karena selalu ada jumlah illegal yang ikut bersama ijin impor. "Maka gula rafinasi adalah solusi penting untuk menutup kebutuhan industri makanan dan minuman,” kata Faisal Basri dalam siaran persnya, Senin (19/6).

Faisal Basri menambahkan lonjakan harga terjadi justru karena kebijakan gula rafinasi sangat ketat, sehingga membuka ruang monopoli. Karena harus diimpor oleh importir terdaftar, jatah gula rafinasi hanya bisa dinikmati oleh industri makanan dan minuman dengan skala besar. 

"Sektor Industri Kecil Menengah tidak kebagian dan harus bertahan dengan gula harga yang semakin tinggi. Itu alasan mengapa akhirnya banyak Industri makanan dan minuman dalam negeri akhirnya memindahkan pabriknya ke Vietnam, Thailand, Laos dll," katanya.

Kekhawatiran Faisal Basri beralasan kuat, pembangunan opini bahwa gula rafinasi adalah musuh petani dan berbahaya untuk konsumsi, justru berbanding terbalik pada fakta bahwa gula rafinasi adalah solusi untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Harga raw sugar jauh lebih rendah dibanding harga Gula Kristal Putih (GKP). 

Jika ini tidak dilakukan hati-hati, maka stok kebutuhan gula industri yang nota bene merupakan sektor yang tumbuh 8,5% per tahun, akan mengalami perlambatan. Mematikan industri gula rafinasi akan membuat ketergantungan kita penuh pada gula impor. 

Padahal pada Januari 2017, Ketua APTR, Soemitro Samadikoen sudah menyurati Presiden Jokowi bahwa pemerintah melalui Bulog tidak perlu lagi mengimpor gula Kristal putih, karena stok gula dalam negeri masih mencukupi.

Namun, lanjut Faisal, berita masih terus berhembus mengenai gula rafinasi, padahal gula rafinasi 100% aman untuk konsumsi rumah tangga. Dalih menjaga pasokan gula menjelang lebaran, soal salah tafsir aparat hukum mengenai gula rafinasi malah mengancam target pertumbuhan ekonomi nasional 2017 yang dipatok 5,1% oleh pemerintah.

Menurut Faisal, sektor industri makanan dan minuman adalah termasuk yang paling tinggi menyumbang nilai ekspor. Jika terjadi hambatan pada pasokan gula kepada industri makanan dan minuman, maka sektor ini akan terpuruk. Produksi yang berkurang, lalu kembali ke skema impor gula kristal putih yang harganya tinggi, otomatis harga produksi juga naik. 

Sementara, lanjut Faisal, kebocoran yang timbul dari penerbitan kuota impor gula sangat tinggi, sehingga pasar kebanjiran pasokan gula impor illegal, ini yang benar-benar akan mennyengsarakan petani tebu dan industri gula.

"Pengangguran yang ditimbulkan dari gulung tikarnya industri pengolahan gula rafinasi juga adalah persoalan tersendiri yang harus dipikirkan oleh pemerintah,” ujar Faisal Basri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement