Selasa 20 Jun 2017 22:44 WIB

MIAP dan Polri Bersinergi Lindungi Konsumen dari Produk Palsu

Rep: Mabruroh/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Widyaretna Buenastuti(kiri), bersama Kanit Indag Direktorat Tipideksus Bareskrim Mabes Polri Totok S (kedua kiri), Direktur Merek dan Indikasi Geografis DJKI Kemenkumham RI Fathurachman (kedua kanan), dan Sekjen MIAP Justisari P Kusumah (kanan)saat menyampaikan update data peredaran produk palsu di Jakarta, Selasa (20/6).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Widyaretna Buenastuti(kiri), bersama Kanit Indag Direktorat Tipideksus Bareskrim Mabes Polri Totok S (kedua kiri), Direktur Merek dan Indikasi Geografis DJKI Kemenkumham RI Fathurachman (kedua kanan), dan Sekjen MIAP Justisari P Kusumah (kanan)saat menyampaikan update data peredaran produk palsu di Jakarta, Selasa (20/6).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) melakukan kerja sama dengan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri dan Direktorat Merek dan Indikasi Geografis Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM. Kerja sama ini dalam rangka memberikan perlindungan bagi konsumen dan juga pemilik merek dari pemalsuan-pemalsuan yang makin marak terjadi.

Ketua MIAP Widyaretna Buenastuti mengatakan sudah menjadi komitmennya dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen dari ancaman produk-produk palsu. Bahkan MIAP juga melakukan sosialisasi betapa pentingnya penghargaan dan memberikan perlindungan bagi kekayaan intelektual.

"Dalam kesempatan ini kami berharap kerja sama dengan para pemangku kepentingan dalam memberantas barang palsu demi melindungi konsumen dan masyarakat luas," ujar Widya di restro Merah Delima, Jakarta Selatan, Selasa (20/6).

Widya menerangkan maraknya peredaran barang-barang palsu ini karena minimnya pengetahuan masyarakat akan bahaya pemalsuan dan tentang produk palsu. Misalnya yang sering kali terjadi masyarakat banyak memilih harga yang murah ketimbang mahal padahal beberapa barang tentu saja akan ada bahayanya bila tidak pintar-pintar dalam memilih.

Oleh karena itu, dia melanjutkan dengan menggandeng para pemangku kepentingan ini, MIAP berharap agar produk-produk palsu dapat ditangani. Sehingga tidak lagi banyak masyarakat yang menjadi korban.

"Data //state of internet reporter yang dirilis 2015 Indonesia menempati posisi ke-3 setelah Cina dan Amerika Serikat sebagai negara sumber serangan dunia maya dengan tingkat pembajakan yang tinggi," ujar Widya.

Direktur Merek dan IGJKI Faturrahman mengatakan selama ini telah melakukan pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran kekayaan intelektual khususnya terkait dengan merek dan hak cipta. Berdasarkan undang-undang merek No 20 tahun 2016 serta undang-undang hal cipta No 28 tahun 2014 dan undang-undang Perlidungan konsumen No 8 tahun 1999 DJKI terus melakukan pengawasan-pengawasan secara berkesinambungan.

"Kerja sama dengan MIAP, kami melakukan penindakan jika ada pelanggaran, pemalsuan dan kalau ada aduan kita lakukan penyelidikan di lapangan," kata dia.

Dengan undang-undang merek, dia mengatakan, misalnya terjadi pelanggaran maka akan ada kriteria atau tahan-tahapan sanksi pidananya.  Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Toto Sudjiharto mengatakan perihal bakal membajak atau pemalsuan di Indonesia bukan menjadi barang baru. Dia mengatakan, sudah lama penyidik menangani laporan maupun temuan akan hal tersebut. "Bajak-membajak ini sudah banyak, di Indonesia ini saling bajak," ungkap Toto.

Namun sambungnya sejak UU tahun 2016 itu perangkat hukum menjadi delik aduan. Polisi kata dia, baru bisa melakukan penyelidikan apabila pemilik merek merasa dirugikan dan apabila barang dagangannya ditiru.

Dalam menerapkan undang-undang tersebut, dia melanjutkan, penyidik tidak bisa serta merta langsung menyangkakan kepada pelaku. Misalnya apabila pemilik merek merasa dirugikan dan membuat laporan maka polisi tidak bisa langsung menindak pelaku yang membajak merek tersebut.

Polisi akan memberikan peringatan terlebih dahulu kepada pelaku. Kemudian apabila pelaku masih bandel maka di sanalah penyidik dapat menjerat pelaku dengan UU. "Jadi kalau polisi ada delik aduan maka disomasi dulu. Jangan melakukan pembajakan, pemalsuan, ini agak teknis yaa bahwa unsur sengaja itu terlihat bahwa dia sudah diberitahu tapi dia ngotot ya sudah," paparnya.

Apalagi bila dikenakan dengan UU hak cipta lanjutnya maka tidak bisa langsung dikenakan pidana. Mereka harus menyelesaikan dengan mediasi terlebih dahulu kemudian diselesaikan secara administrasi di Pengadilan Niaga. "Jadi kalau bisa, di UU kekayaan intelektual diselesaikan dulu secara administratif baru ke pidana. Itu jelas sekali dalam UU Hak Cipta pasal 95 ayat 4, sebelum pidana melakukan mediasi dulu," terangnya

Dengan harus dimulainya penyeldikan dengan aduan tersebut membuat polri terkesan melakukan pembiaran. Namun Toto membantah hal tersebut. Menurut dia, untuk kasus vaksin misalnya, polisi tidak melakukan pembiaran. Bahkan penyidik terus mengusut hingga tuntas kasus tersebut dan menjerat dokter serta tersangka lainnya dengan hukuman penjara.

sumber : Center
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement