Rabu 21 Jun 2017 01:48 WIB

Idul Fitri Sedih Bagi Pengungsi Marawi

Situasi di Kota Marawi, Filipina, awal Juni 2017.
Foto: AP/Aaron Favila
Situasi di Kota Marawi, Filipina, awal Juni 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, ILIGAN -- Seminggu sebelum Idul Fitri, Malamit Maliawao duduk di atas tumpukan karung di kamp pengungsi di Iligan City, Filipina. Warga Marawi ini memikirkan bagaimana merayakan Idul Fitri. 

Idul Fitri, yang diperkirakan jatuh pada 26 Juni mendatang, menandai berakhirnya bulan puasa Ramadhan. Muslim di seluruh dunia menyambut gembira hari raya ini. 

"Ini adalah salah satu perayaan terpenting bagi kami. Tapi kami masih belum tahu bagaimana cara melakukannya, terutama karena kondisi kami," kata Maliawao, yang berasal dari Kota Marawi, dilansir dari //inquirer//, Rabu (21/6). 

Biasanya, Maliawoo memberikan hadiah kepada anak-anaknya, tetangganya, dan ulama desa setiap lebaran. Namun, kali ini, dia tidak punya uang. "Tanpa uang, itu sama sekali tidak mungkin," kata dia. 

Maliawao bercerita Ramadhan tahun ini sudah terasa berat. Pusat evakuasi penuh sesak, panas, bau busuk yang berasal dari sampah dan toilet terbuka. Kendati demikian, dia masih tetap berpuasa. 

“Kami sangat senang bisa berpuasa tapi kami juga sangat sedih melakukan kewajiban ini di tengah situasi sulit," ujar Maliawao.

Dia mengaku bisa menjalani puasa meski hanya makan sardines dan mi. Namun, sangat sulit kalau harus merayakan Idul Fitri dengan makanan yang sama. 

Warga Marawi lainnya, Lalay Sultan Malo, mengatakan, Idul Fitri merupakan perayaan yang penting bagi Muslim. Tahun lalu, dia mengenang, warga Kota Marawi merayakannya dengan penuh suka cita. 

Sebelum 23 Mei 2017, ketika kelompok milisi Maute dan Abu Sayyaf masuk ke Marawi, warga koota seperti Malo telah hidup dengan tenang. Namun, Idul Fitri tahun ini akan menjadi pengalaman pertama merayakan di kamp pengungsian. "Sekarang, kami tidak punya apa-apa. Anak-anak belum punya baju baru," kata dia. 

Perempuan berusia 47 tahun itu juga mengatakan warga di pengungsian juga akan salat pada pagi hari 1 Syawal di lokasi seadanya. Dia menunjukkan dua tenda di lokasi pengungsian. "Kami mungkin akan berdoa di situ, bukan di masjid di Marawi," kata Malo. 

Bagi Sara Mamintal (49 tahun), Idul Fitri tahun ini bakal terasa menyedihkan. "Bagaimana kami bisa bersukacita saat situasi kita seperti ini? Idul Fitri selalu berwarna dan ada makanan berlimpah tapi tahun ini tidak mungkin," kata ibu delapan anak ini. 

Mamintal mengatakan meski penghasilan suaminya sebagai sepeda roda tiga di Kota Marawi sangat minim, Idul Fitri selalu menjadi momen yang membahagiakan bagi keluarganya. "Karena kami dalam kenyamanan rumah kami," kata dia. 

Malo dan Maminta juga tidak memiliki mukena untuk shalat. Keduanya terpaksa mengenakan kain seadanya untuk tetap bisa beribadah. 

Menurut Evalia Sumile dari Kantor Kesejahteraan Sosial Kota Iligan, para pengungsi tidak perlu khawatir tentang perayaan Idul Fitri. Sebab, otoritas setempat sudah menyiapkan sejumlah aktivitas untuk hari raya itu. 

Bahkan, pemerintah lokal juga akan membagikan mukena kepada para perempuan di kamp pengungsian. "Akan ada banyak makanan dan semuanya," kata dia. 

Kendati ada semuanya, rumah tetap menjadi tempat yang nyaman untuk merayakan kemenangan setelah satu bulan berpuasa. "Kami berharap kami berada di rumah," kata Malo.

sumber : inquirer
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement