REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semenjak masa Rasulullah SAW, umat Islam sudah mempunyai bendera. Dalam bahasa Arab, bendera sebut dengan liwa’ atau alwiyah (dalam bentuk jamak). Istilah liwa’ sering ditemui dalam beberapa riwayat hadis tentang peperangan. Jadi, istilah liwa’ sering digandengkan pemakaiannya dengan rayah (panji perang).
Istilah liwa’ atau disebut juga dengan al-‘Alam (bendera) dan rayah mempunyai fungsi berbeda. Dalam beberapa riwayat disebutkan, rayah yang dipakai Rasulullah SAW berwarna hitam, sedangkan liwa’ (benderanya) berwarna putih. (HR Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah).
Meskipun terdapat juga hadis-hadis lain yang menggambarkan warna-warna lain untuk liwa’ dan rayah, sebagian besar ahli hadis meriwayatkan warna liwa’ dengan warna putih dan rayah dengan warna hitam.
Secara ukuran, rayah lebih kecil dari liwa’. Mengenai ukuran panjang dan lebarnya, tidak ditemui riwayat yang menjelaskan secara rinci dari bendera maupun panji-panji Islam pada masa Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Panji Rasulullah SAW berwarna hitam, berbentuk segi empat dan terbuat dari kain wol.” (HR Tirmizi).
Rayah dan liwa’ sama-sama bertuliskan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Pada rayah (bendera hitam) ditulis dengan warna putih, sebaliknya pada liwa’ (bendera putih) ditulis dengan warna hitam.
Rayah dan liwa’ juga mempunyai fungsi yang berbeda. Rayah merupakan panji yang dipakai pemimpin atau panglima perang. Rayah menjadi penanda bahwa orang yang memakainya merupakan pimpinan dan pusat komando yang menggerakkan seluruh pasukan. Jadi, hanya para komandan (sekuadron, detasemen, dan satuan-satuan pasukan lain) yang memakai rayah.
Rayah diserahkan langsung oleh khalifah kepada panglima perang serta komandan-komandannya. Selanjutnya, rayah dibawa selama berperang di medan peperangan. Karena itulah, rayah disebut juga Ummu al-Harb (Induk Perang).
Mengenai hal ini, berdalil dari hadis dari Ibnu Abbas mengatakan, Rasulullah ketika menjadi panglima di Perang Khandak pernah bersabda, “Aku benar-benar akan memberikan panji (rayah) ini kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah kemudian memberikan rayah tersebut kepada Ali bin Abi Thalib yang saat itu menjadi ketua divisi pasukan Islam. (HR Bukhari).
Ibnu Asakir dalam bukunya Tarikh ad-Dimasyq jilid IV/225-226 menyebutkan, rayah milik Rasulullah SAW mempunyai nama. Dalam riwayat disebutkan, nama rayah Rasulullah SAW adalah al-‘Uqab.
Selain itu, fungsi liwa’ sebagai penanda posisi pemimpin pasukan. Pembawa bendera liwa’ akan terus mengikuti posisi pemimpin pasukan berada. Liwa’ dalam perperangan akan diikat dan digulung pada tombak.
Riwayat mengenai liwa’, seperti yang diriwayatkan dari Jabir RA yang mengatakan, Rasulullah membawa liwa’ ketika memasuki kota Makkah saat Fathul Makkah (pembebasan Kota Makkah). (HR Ibnu Maajah).
Setelah masa-masa ekspansi dari daulah Islam berakhir, simbol-simbol menyerupai rayah dan liwa’ kembali muncul. Banyak kelompok dan ormas yang menggunakan simbol tersebut sebagai lambang organisasinya. Namun, apakah hal ini diperkenankan?
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Dr KH Ali Mustafa Ya’qub mengatakan, sebenarnya tidak ada larangan bagi satu kelompok untuk memakai simbol rayah dan liwa’. Namun, jika tujuannya untuk menipu atau mengecoh umat Islam, tentu itu jelas haram.
Menurut Ali Mustafa, kelompok-kelompok ekstremis, seperti Islamic State of Irak and Suriah (ISIS), menggunakan rayah dan liwa’ untuk menipu umat Islam. Hal itu dibuktikan dengan perbuatan mereka yang tidak sesuai dengan slogan yang mereka usung. Penggunaan rayah dan liwa’ hanya sekadar propaganda untuk menarik simpati umat Islam.
Demikian juga tentang fungsi rayah dan liwa’ sebagai bendera umat Islam. Menurut Ali Mustafa, tidak ada dalil kuat yang bisa mengklaim begitu saja bahwa liwa’ merupakan bendera umat Islam. Menurutnya, Islam bukan bendera, melainkan keyakinan. Keberadaan rayah dan liwa’ pada zaman Rasulullah SAW hanya sebagai tanda.
Kelompok lain yang menggunakan liwa’ dan rayah sebagai lambang ormas, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Jubir HTI Abdullah Fanani mengatakan, sah-sah saja ketika ada ormas yang memakai simbol dari liwa’ dan rayah. HTI sendiri menggunakan bendera dari liwa’ dan rayah dengan mencantumkan Hizbut Tahrir Indonesia di bawah tulisan La ilaha illallah Muhammadar Rasulullah.
Hizbut Tahrir berpendapat, rayah dan liwa’ merupakan bendera umat Islam. Jadi, tidak bisa diklaim bahwa keduanya termasuk simbol milik suatu kelompok tertentu.
Disarikan dari Pusat Data Republika