REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Kitab Fadhilah Amal karangan Maulana Zakariyya al-Kandahlawi diterangkan, seorang sahabat pernah mengikuti Nabi berjalan di sebuah lembah. Ketika itu, ada sebuah pohon dengan ranting yang sangat rendah. Nabi pun melewati pohon itu dengan membungkuk. Sang sahabat tersebut pun ikut membungkuk agar bisa lewat di jalan tersebut.
Tatkala Rasulullah SAW sudah tiada, sahabat tadi pada suatu kali kembali melewati jalan tersebut. Namun, pohon dengan ranting yang rendah dahulu sudah tidak ada lagi. Ia ingat betul, dahulu ketika bersama Nabi, mereka sama-sama membungkuk melewati jalan itu. Jadi, ia memutuskan untuk kembali membungkuk melewatinya kendati tidak ada lagi ranting yang menghalanginya.
Sungguh beruntung sahabat tadi. Musuh Islam yang sedari tadi mengintainya dengan panah ternyata tengah membidiknya. Tak disangka, begitu anak panah lepas dari busurnya, ternyata targetnya tiba-tiba saja membungkuk. Alhasil, target panah itu pun luput dari maut.
Apa yang membuat sahabat tadi ingin membungkuk melewati jalan tersebut? Bukankah perbuatan Rasulullah yang membungkuk itu disebabkan qarinah (alasan tertentu yang melatarbelakangi sunah Rasul). Jelas sekali, Rasulullah membungkuk karena menghindari ranting pohon yang menghalangi jalannya. Bukankah sunah seperti ini sebenarnya tak perlu untuk diikuti?
Sang sahabat yang luput dari maut tadi mempunyai alasan yang sederhana. Kecintaannya kepada Nabi lah yang membuatnya melakukan itu. Ia sejenak mengesampingkan kaidah fikih atau ushul fikih yang membahas hal itu mesti dilakukan atau tidak. Ia hanya melakukan itu karena kecintaannya kepada Nabinya. Ia ingin mengikuti seluruh sunah Rasulullah SAW tanpa peduli apa pun.
Sama halnya, ketika para fuqaha’ memperdebatkan hukum memakai surban. Ada yang mengatakan, surban hanya sunah ’adah (sunah karena adat istiadat setempat). Hal itu disebabkan budaya bangsa Arab ketika itu memakai surban. Memang benar, Rasulullah SAW beserban, tapi bukankah Abu Jahal dan Abu Lahab juga besurban? Banyak yang berpandangan memakai surban tidak mesti diikuti karena ia hanya sunah berdasarkan ’adah (adat setempat).
Banyak juga yang menyangkal perbuatan orang-orang yang ikut-ikutan besurban. Menurut mereka, besurban bukanlah sunah karena tidak ditemui satu hadis sahih pun yang menganjurkan untuk besurban. Pada kesimpulannya, besurban bukanlah sunah yang mesti diikuti.
Namun, salah seorang yang beserban mempunyai alasan sederhana ketika ditanya apa alasannya mengenakan surban. Jawabannya sederhana, karena kecintaannya kepada Nabi. Nabinya besurban maka ia ingin seperti Nabinya pula. Apa yang salah dengan seseorang yang ingin berpakaian seperti Nabinya?
Sama halnya, ketika seorang mencintai dan mengidolakan seorang pemain bola. Ia dengan bangga mengenakan kostum pemain bola favoritnya. Kendati kostum itu tidaklah ia pakai ketika bermain bola. Demikian pula halnya orang yang besurban itu, ia menyandarkan tindakannya pada hukum besurban dalam tinjauan fikih seperti apa, ia hanya ingin berpenampilan seperti orang yang ia kasihi, Rasulullah SAW.
Salahkah ia? Lalu, argumen apalagi yang bisa mematahkannya? Ketika seseorang sudah berbicara soal cinta, tak ada lagi alasan yang bisa mengkritiknya. Seorang yang mencintai, tak butuh alasan apa pun untuk bertindak. Ia tak akan pernah bisa memberikan dalil apa alasannya ia mencintai.
Bukti cinta kepada seseorang, ia bisa mencintai apa yang dicintai kekasihnya. Ia membenci apa yang dibenci kekasihnya. Seorang pecinta menjadi budak dari apa yang dicintainya. Ia akan mengikuti apa pun yang diinginkan kekasihnya. Ia akan melakukan apa pun untuk kekasihnya. Tujuannya hanya satu, agar yang dicintainya bisa bahagia. Syukur pula jika ia mendapat bonus, yakni cinta yang berbalas. Ia juga dicintai oleh kekasihnya.
Begitulah perumpamaannya seseorang yang cinta kepada Rasulullah SAW. Ia mampu mencintai apa yang dicintai Rasul, membenci apa yang dibenci Rasul, mengikuti seluruh gaya hidup Rasul, dan tunduk patuh dengan perintah maupun larangannya. Ia tak peduli, apakah sunah Rasulnya tersebut merupakan wajib, sunah, atau makruh. Baginya apa pun yang berasal dari Rasul merupakan kemestian untuk ia ikuti pula.
Kecintaan inilah yang menyelamatkan pecinta Rasulullah SAW dari ancaman di dunia hingga akhirat. Seperti kisah sahabat yang membungkuk tadi diselamatkan dari bidikan panah. Sebagaimana pesan Maulana Zakariyya al-Kandahlawi, “Di dalam sunah ada kejayaan.”
Disarikan dari Dialog Jumat Republika