REPUBLIKA.CO.ID, Pada 10 Juli 1990, Mikhail Gorbachev kembali terpilih sebagai pemimpin Partai Komunis Uni Soviet di tengah tekanan reformasi ekonomi dan politik. Namun kemenangan Gorbachev tidak bertahan lama, karena Uni Soviet runtuh pada akhir 1991.
Gorbachev berkuasa di Uni Soviet pada 1985 dan mulai mendorong reformasi kebijakan dalam dan luar negeri Rusia. Dalam urusan domestik, dia menginginkan kebebasan ekonomi yang lebih besar dan mendorong gerakan bertahap menuju pasar bebas di sektor tertentu. Dia juga menuntut lebih banyak kebebasan berpolitik dan membebaskan sejumlah tahanan politik.
Sedangkan dalam kebijakan luar negerinya, Gorbachev berusaha mencairkan hubungan Perang Dingin antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat (AS). Dia menunjukkan keinginannya untuk melakukan pengendalian senjata secara substantif dan mulai mengurangi keterlibatan militer dan politik Uni Soviet di negara-negara seperti Afghanistan dan Angola.
Pada 1990, banyak pihak yang menyebut Gorbachev sebagai penyelamat karena telah membawa reformasi ke Uni Soviet. Namun, ada juga yang mencerca dan mengecamnya karena dinilai telah melemahkan Partai Komunis dan melemahkan kekuatan militer Uni Soviet.
"Tidak ada cara untuk mengembalikan masa lalu, dan tidak ada sistem kediktatoran, jika seseorang masih senang dengan gagasan gila ini, yang akan menyelesaikan masalah apapun," kata Gorbachev, dalam Kongres Partai Komunis pada Juli 1990, dikutip History.
Sebagai tanggapan atas tuduhan dia telah sangat melunak dalam menghadapi gerakan anti-komunis di Eropa timur, dia mengatakan, "Apakah Anda menginginkan digunakannya tank lagi? Haruskah kita mengajari mereka lagi bagaimana caranya hidup?"
Pada 1990, Uni Soviet menderita masalah ekonomi yang mengerikan, pertengkaran politik internal yang semakin parah, dan perasaan tidak nyaman di antara masyarakat Rusia. Pada Desember 1991, setelah banyak wilayah yang memutuskan untuk memisahkan diri dari Uni Soviet, Gorbachev mengundurkan diri sebagai kepala Partai dan sebagai presiden.
Selanjutnya: Jerman Serang Inggris dalam PD II