REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Ada sejumlah alasan mengapa dalang Sumardi Sabdho Carito lebih memilih memperkenalkan wayang kepada anak-anak di Australia. Ia tidak hanya menampilkan pertunjukan wayang kepada anak-anak di Australia, tapi juga mengajarkan mereka cara membuat wayang dari bahan-bahan sederhana.
Hampir setiap tahunnya, Sumardi datang ke Australia untuk berkunjung ke sekolah-sekolah dasar dan membawa wayang. Ia sudah melakukannya selama sembilan tahun. Adalah Cultural Infusion, sebuah agen budaya Australia yang berbasis di Collingwood, negara bagian Victoria, yang mengundang Sumardi untuk memperkenalkan wayang kepada anak-anak di sana.
Sumardi mengaku jika ia belum pernah memperkenalkan wayang kepada anak-anak di Indonesia karena terbentur sejumlah kendala. "Fasilitas sekolah tidak selengkap di Australia untuk menggelar pertunjukkan wayang," ujar Sumardi saat dihubungi Erwin Renaldi dari ABC di Melbourne.
"Kedua, birokrasi untuk memperkenalkan wayang masih bertele-tele, banyak kepala sekolah dan guru yang tidak mengizinkan memperkenalkan wayang di sekolah," tambahnya.
Sumardi mengatakan jika dalam hati kecilnya ingin sekali memperkenalkan warisan budaya wayang kepada anak-anak Indonesia sendiri, tetapi ia mengaku membutuhkan bantuan dari berbagai pihak.
"Kurang adanya dukungan dari pemerintah, baik secara perizinan dan dukungan finansial. Saya pernah mencoba mengajukan proposal ke salah satu perusahaan di Indonesia untuk mendukung program saya, 'Cultural in Education' dengan misi 'Ayo Nonton Wayang', namun belum ada tanggapan sampai sekarang."
Dengan tawaran yang datang dari Australia, Dalang Sumardi seolah mendapat kesempatan memperkenalkan budaya wayang kepada generasi muda, meski bukan dari tanah kelahirannya sendiri. Di Australia, Sumardi mengatakan telah memperkenalkan wayang kulit, wayang kancil, wayang golek, hingga seni tari.
"Pada 2014 saya membawa instrumen gamelan kendang dan gender. Tujuannya untuk memperkenalkan salah satu musik yang mengiringi pertunjukan wayang kulit," jelas Sumardi yang lulus dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Sumardi mengaku jika murid-murid sekolah dasar berserta para guru menanggapi budaya wayang asal Indonesia dengan positif. Menurut pria kelahiran 1966 tersebut, mereka menganggap budaya wayang adalah sesuatu yang unik dan menarik. Ia pun seringkali dibanjiri pertanyaan soal wayang dari para murid, yang berasal dari kelas satu dan enam sekolah dasar.
"Kenapa waktu pentas wayang kulit di Indonesia sampai jam sembilan atau semalam suntuk? Berapa lama waktu untuk membuat satu wayang?" kata Sumardi saat ditanya soal pertanyaan apa yang paling sering diajukan murid-murid di Australia.
Masa depan wayang
Saat upaya untuk memperkenalkan wayang di Australia oleh Sumardi ditanggapi dengan baik, Sumardi mengaku pesimis jika wayang di negeri sendiri akan mampu mendapatkan tempat di hati anak-anak Indonesia.
Menurut Sumardi salah satu penyebabnya adalah kondisi ekonomi bangsa Indonesia, khususnya masyarakat di Jawa yang kurang mencukupi untuk bisa 'nanggap wayang'. Padahal menurutnya untuk 'nanggap wayang' ini membutuhkan biaya yang tinggi.
"Berkembangnya teknologi canggih dengan gim yang dianggap modern dan menarik kalangan generasi muda, sehingga wayang dianggap kuno," ujar Sumardi.
"Yang tak kalah penting adalah adanya anggapan dari agama dan aliran yang menganggap wayang adalah hal yang dilarang... bahkan banyak agama atau aliran agama yang mengkriminalisasi wayang atau pertunjukkan wayang."
Sumardi juga menyebutkan sejumlah faktor yang membuatnya pesimis wayang bisa digemari anak-anak Indonesia. Misalnya, semakin kurangnya tempat luas untuk pertunjukkan wayang, serta pertunjukan wayang yang biasanya digelar di malam hari sehingga orang tua melarang anak-anaknya menonton wayang.
"Agar wayang tetap lestari di Indonesia, kita harus menggandeng berbagai pihak. Pemerintah ataupun swasta harus turut mendukung program pelestarian wayang. Saya ingin melakukan apa yang sudah saya lakukan di Australia ini untuk anak-anak Indonesia. Kita harus jemput bola untuk mengenalkan wayang kepada murid-murid sekolah di Indonesia."
Sumardi terus berharap agar bisa melaksanakan program 'Cultural in Education' dengan proyek 'Ayo Nonton Wayang' kepada murid-murid di Indonesia.
Memperkenalkan budaya asing
Cultural Infusion adalah satu dari sejumlah agen budaya di Australia yang berupaya untuk mengajak anak-anak dan para guru untuk lebih membuka wawasan soal dunia dan keberagaman budaya yang dimiliki negara-negara di dunia.
Dari hasil penelusuran di situs resminya, organisasi ini memiliki banyak program untuk memperkenalkan budaya-budaya asing kepada murid-murid di Australia, termasuk budaya Indonesia. Budaya Indonesia bahkan masuk dalam daftar budaya yang popular untuk dipelajari anak-anak di Australia.
Selain wayang, ada pula program memperkenalkan budaya dan kehidupan di Bali, mempelajari tarian Merak, musik gamelan, dan lainnya. Program ditujukan tidak hanya mereka yang duduk di kelas satu hingga enam sekolah dasar, tapi di sekolah menengah.
Durasi program biasanya digelar minimal satu jam. Ada pula yang satu hari selama jam sekolah. Biaya bagi murid berkisar enam dolar AS hingga 13 dolar AS atau sekitar Rp 60 ribu hingga Rp 130 ribu per orang.