REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akan merumuskan upah minimum khusus untuk sektor garmen di empat wilayah yakni Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kota Depok. Penyusunan upah khusus ini untuk menjaga agar lapangan kerja di industri padat karya bisa tetap terjaga.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriawan (Aher) mengatakan, besaran upah khusus ini formulasinya sedang dihitung dan nanti akan diatur dalam Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Menurutnya, SK ini nanti hanya berlaku khusus untuk industri garmen di empat wilayah tersebut.
"Itu nanti isi SK-nya bisa yang lama diperbarui, ditambah klausul-kalusul baru, atau bisa nanti SK yang baru," ujar Aher ketika ditemui di Kantor Wakil Presiden, Kamis (13/7).
Aher menjelaskan, sebelumnya struktur upah di beberapa kabupaten pada tahun lalu dibagi menjadi tiga yakni upah minimum kebupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), dan upah minimum kabupaten/kota padat karya. Namun, upah minimum kabupaten/kota padat karya dihilangkan yang berakibat pada penerapan sistem satu upah dengan kenaikan UMK sebesar 8,25 persen. Dampak dari penghapusan upah minimum kabupaten/kota padat karya tersebut, industri padat karya khususnya sektor garmen harus menanggung beban kenaikan upah mencapai 30 persen.
Beban kenaikan upah di sektor garmen ini sudah dikeluhkan oleh pengusaha sejak Desember 2016 sehingga terjadi gejolak, dan dikhawatirkan perusahaan mengambil langkah untuk gulung tikar. Menurut Aher, skema upah khusus ini akan memberikan keadilan bagi para tenaga kerja di sektor garmen dan juga dapat mengurangi beban perusahaan.
"Tentu dari sisi keadilan ekonomi kan harus dipertimbangkan, kalau terlalu tinggi kenaikannya kemudian gulung tikar akan berdampak bagi PHK (pemutusan hubungan kerja), kan bahaya bagi ekonomi, masyarakat, maupun pemerintah," kata Aher.
Menurut Aher, keberlangsungan industri padat karya harus dijaga karena banyak menyerap tenaga kerja. Dia menambahkan skema upah khusus industri garmen ini merupakan upaya bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha dan buruh untuk merespon beban upah di industri padat karya khususnya sektor garmen.
Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan, terdapat sekitar 98 perusahaan garmen di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kota Depok yang beroperasi. Jika upah tidak dipenuhi, maka ada potensi PHK terhadap 100 ribu tenaga kerja di sektor garmen di empat wilayah tersebut. Menurut Hanif, skema upah minimum padat karya ini merupakan perlakuan khusus yang disusun untuk empat wilayah tersebut.
"Karena memang ini ada keadaan khusus, karena kalau nggak pasti akan terjadi PHK besar-besaran karena kenaikan (upah) industri padat karya. Tadi disebutkan pak gubernur mencapai 30 persen, padahal kalau kita menggunakan skema kenaikan berdasarkan PP 78/2015 itu kan kalau pertumbuhan ekonomi dan inflasi itu rata-ratanya (kenaikan upah) sekitar 8,25 persen," ujar Hanif.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, jika upah minimum untuk padat karya tidak diterapkan maka akan terjadi kenaikan upah yang besar dan menjadi beban bagi industri, sehingga bisa menyebabkan industri gulung tikar. Rata-rata industri padat karya di empat wilayah tersebut berorientasi ekspor.
Menurut Hariyadi, industri padat karya berorientasi ekspor terkena dampak paling serius jika upah minimum padat karya tidak dipenuhi. Sebab, mereka terikat kontrak dan harus ada penyesuaian terhadap kepatuhan aturan di negara tujuan ekspor.
Rapat skema upah khusus industri padat karya tersebut dipimpin oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla dan dihadiri oleh Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriawan, dan perwakilan dari pengusaha serta buruh. Rapat berlangsung tertutup dan dimulai sekitar pukul 10.30 WIB dan selesai sekitar pukul 12.00 WIB.