REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Panitia Khusus revisi Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme M Syafi'i meminta pemerintah melengkapi aturan terkait penyadapan terduga teroris agar tidak menyalahi aturan yang berlaku. "Itu penyadapan kami sepakati, namun kontennya kami serahkan kepada pemerintah. Di dalam RUU Terorisme itu tentang penyadapan tidak disebutkan izinya dari siapa, waktunya lama, dan pertanggungjawabannya kemana, serta persyaratannya apa," kata M Syafi'i di Gedung Nusantara II, Jakarta, Kamis (13/7).
Dia mengatakan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa penyadapan selain harus diatur dalam peraturan perundang-undangan, tidak boleh di bawah level UU mengaturnya. Selain itu, menurut dia, ada juga hal-hal yang harus dipenuhi misalnya spesifikasi alat perekam, tujuan merekam, identitas yang merekam, dan kapan pelaksanaannya.
"Lalu rekaman tidak boleh ditunjukkan kepada siapapun, tidak boleh dibocorkan dengan alasan apapun, kemudian alat perekamnya itu tidak boleh dipinjamkan, disewakan, dan diperjualbelikan," ujar Syafi'i.
Politisi Partai Gerindra itu menjelaskan penyadapan yang dilakukan terhadap terduga teroris mekanismenya harus mendapatkan persetujuan Pengadilan Negeri. Menurut dia, masa penyadapan pun dibatasi yaitu maksimal satu tahun dan diatur secara ketat siapa yang menyadap dan objek penyadapan serta harus dipertanggungjawabkan pada atasan penyidik dan pemerintah yang mengurusi bidang itu.
"Rekaman penyadapan jangan dibuka sebelum proses pengadilan," ujarnya.