REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah, KH Cholil Nafis menanggapi pemblokiran aplikasi Telegram oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Kiai Cholil mengaku bahwa dirinya merupakan pengguna Telegram. Walaupun ia hanya menggunakan Telegram sebagai media untuk membagikan kitab-kitab PDF yang sangat berharga baginya.
Selain itu, Kiai Cholil terkadang juga memanfaatkan Telegram sebagai media berkomunikasi dengan teman-temannya. Karena itu, ia tidak menyetujui pemblokiran Telegram tersebut. "Maka kabar diblokirnya Telegram bagi saya menyakitkan," ujarnya kepada Republika.co.id dalam keterangan tertulisnya, Ahad (16/7).
Kiai Cholil termasuk narasumber program deradikalisasi dan kontra terorisme dari BNPT, sehingga ia sangat setuju untuk mengantisipasi terjadinya propaganda terorisme. Namun, menurut dia, deradikalisasi dengan cara menutup aplikasi Telegram adalah langkah yang salah.
"Ini sama saja dengan membakar lumbung padi karena di dalamnya ada tikus atau menutup Kementerian bahkan perguruan tinggi karena di dalamnya ada korupsi," ucapnya.
Menurut Kiai Cholil, pemerintah tidak sepatutnya memblokir aplikasi Telegram. Tapi, kata dia, pemerintah hanya perlu memblokir pemilik akun telegram yang memuat konten radikalisme, sehingga tak merugikan orang banyak.
"Kalau alasannya aplikasi Telegram ditutup karena digunakan oleh kelompok radikalis dan teroris, maka FB, WA, Twitter, Youtube, dan seluruh jaringan internet harus diblokir," kata dia.
Ia menambahkan, paham radikalisme jika ditekan maka justru bisa bertambah lebih besar. Karena itu, kata dia, pemerintah harus lebih bijak jika ingin menutup akun yang menyebarkan paham yang membahayakan NKRI. "Dan pemerintah harus menyediakan ahli dan mendorong para ahli untuk aktif menangkal dan melawan paham radikalisme dengan argumentasi dan uraian yang memadai dan mencerahkan," jelas Kiai Cholil.