REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM - Israel mulai menerapkan sistem keamanan baru Masjid Al Aqsa dengan memasang detektor logam di pintu masuknya, pada Ahad (16/7). Pemasangan detektor logam dilakukan dua hari setelah terjadi baku tembak di kompleks masjid, yang menewaskan dua polisi Israel dan tiga warga Palestina, pada Jumat (14/7) pagi.
Tiga Muslim Palestina yang berkewarganegaraan Israel tertangkap kamera polisi Israel, keluar dari kompleks Masjid Al-Aqsa. Mereka menembak dua polisi dan berlari lapangan terbuka di dalam kompleks.
Ketiganya yang diketahui berasal dari Kota Umm al-Fahm, ditembak mati di lokasi kejadian oleh pasukan keamanan Israel. Setelah insiden ini, polisi Israel menutup masjid dan mencegah jamaah Muslim untuk shalat Jumat untuk pertama kali sejak 1967.
Penutupan tersebut dikecam oleh seluruh Muslim di dunia. Muslim memandang langkah itu sebagai upaya Israel untuk mengubah status quo dari situs suci yang disebut Temple Mount oleh kaum Yahudi ini.
Polisi Israel mengatakan, pemasangan detektor logam diperlukan untuk mengamankan lokasi dan memastikan tidak ada senjata yang masuk ke dalam kompleks masjid. Beberapa anggota Wakf, yang mengelola situs tersebut, telah ditahan oleh polisi karena dicurigai membantu ketiga Muslim Palestina yang menyerang polisi Israel.
Dalam sebuah wawancara di Radio Angkatan Darat Israel pada Ahad (16/7), Mayjen Yoram Halevy, komandan polisi di Distrik Yerusalem, mengatakan polisi menemukan pisau, jepitan, pentungan, dan senjata lainnya yang tidak berbahan peledak di dalam kompleks masjid. Dia juga mengatakan para pekerja kota Yerusalem telah memasuki masjid tersebut pada Sabtu (15/7) untuk melakukan pembersihan.
Baca juga, Dilarang Masuki Al Aqsa, Warga Palestina Shalat di Halaman.
Insiden ini membuat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas melakukan panggilan telepon, yang sangat jarang dilakukan. Netanyahu mengatakan, tidak akan ada peraturan baru yang akan diterapkan Israel di Al Aqsa.
Sementara itu, Abbas menyatakan sikap Palestina yang mengutuk insiden penembakan di dalam situs tersebut. Dia juga meminta Netanyahu agar membuka kembali masjid Al Aqsa agar bisa digunakan beribadah oleh umat Muslim.
Setelah mengadakan rapat keamanan pada Sabtu (15/7) malam, Netanyahu setuju untuk membuka kembali masjid tersebut pada Ahad (16/7). Namun menjelang sore, hanya penduduk Muslim di kota Yerusalem saja yang diizinkan masuk dan semuanya harus melewati detektor logam yang baru dipasang.
"Tiga orang yang tewas pada Jumat itu tidak melakukan sesuatu yang baik untuk umat Islam atau untuk Yerusalem. Satu-satunya yang mendapat keuntungan dari insiden ini adalah orang-orang Yahudi. Mereka memanfaatkan situasi ini," kata Hafez Sublaban, yang mengelola sebuah toko kelontong kecil di seberang salah satu pintu masuk ke masjid.
Sublaban, yang telah menjalankan tokonya selama lebih dari 20 tahun, mengatakan sebelumnya tidak pernah ada jamaah yang dihalangi untuk masuk ke dalam masjid. Selama ini, penduduk Kota Tua Yerusalem harus bertahan selama 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu dari ratusan kamera keamanan polisi Israel yang memantau pintu masuk ke kompleks masjid.
"Ini bukan keadaan yang tepat bagi mereka yang ingin beribadah. Ini adalah masjid dan tempat ibadah kami. Kami menentang prosedur kejam ini," ujar Umm Amar (53 tahun), penduduk Kota Tua. Ia mengatakan, dia harus melewati pos pemeriksaan polisi Israel yang baru didirikan, untuk mencapai masjid tersebut.