REPUBLIKA.CO.ID, Penetapan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-el) bisa dibilang merupakan suatu perjalanan panjang penuh hambatan. Alasannya, beberapa saksi dalam persidangan kasus korsupsi KTP-el, kerap menyampaikan kesaksian yang bertentangan dengan apa yang mereka berikan di berita acara pemeriksaan (BAP) di KPK.
Misalnya, ketika mantan bendahara Partai Demokrat, Muhamad Nazaruddin ditanyai soal keterlibatan Novanto. Nazaruddin saat menjadi saksi pada sidang kelima kasus KTP-el pada 3 April lalu, dikonfirmasi oleh jaksa KPK soal isi BAP-nya. Di BAP ini, disebutkan adanya pertemuan antara Anas Urbaningrum, Setya Novanto, Nazaruddin, dan pengusaha rekanan Kemendagri Andi Narogong, di Pacific Place, Jakarta, pada 2010.
BAP itu juga menyebut bahwa Novanto menjanjikan uang 3 juta dolar AS kepada Anas. Namun, dalam persidangan saat itu, Nazaruddin membantah isi BAP tersebut. Dia menuturkan keterangan dalam BAP itu tidak benar. Dia mengaku tidak melihat Novanto saat itu. Ia hanya membenarkan pertemuan antara dirinya, Andi dan Anas. "Saya tidak melihat (Novanto)," kata dia.
Usai persidangan, Nazaruddin pun tidak mau menjawab terkait keterangannya yang berbeda antara yang ada di BAP dengan kesaksiannya di persidangan. Saat ditanya awak media terkait keterlibatan Novanto, dia memilih bungkam dan langsung memasuki mobil.
Tidak hanya Nazaruddin, sosok anggota DPR yang namanya populer akibat persidangan kasus KTP-el, Miryam S. Haryani, juga menyampaikan kesaksian yang berbeda dari isi BAP-nya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dalam persidangan, Miryam mencabut seluruh isi BAP-nya.
Hakim saat itu sempat dibikin jengkel oleh kesaksian Miryam karena jawabannya yang dinilai plintat-plintut. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta sampai meminta Miryam untuk berkata jujur. Sebab, Miryam membuat keterangan yang berbeda saat di persidangan dan pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir 2016.
Awalnya, anggota DPR Fraksi Partai Hanura yang pernah menjabat anggota komisi II dalam periode 2009-2014 ini mengaku terpaksa menandatangani seluruh isi BAP saat diperiksa penyidik KPK di akhir 2016. Tujuannya, supaya menyudahi pemeriksaan tersebut dan penyidik pun jadi tenang.
"Untuk menenangkan mereka, saya jawab pasrah saja. Saya diancam, Pak. Saya takut," jawab dia saat ditanya oleh hakim John Halasan Butar-Butar apakah BAP itu jawaban Miryam sendiri atau karena tertekan, 23 Maret lalu.
Miryam menjelaskan, saat di KPK ia diperiksa oleh satu penyidik hingga kemudian datanglah dua penyidik lainnya. Dia hanya ingat nama dua penyidik, yakni Novel dan Damanik. Baru duduk, ia sudah langsung mendapat tekanan. Penyidik ketika itu, kata Miryam di hadapan majelis hakim, langsung mengatakan, seharusnya dia ditangkap pada 2010 lalu.
"Waktu pas saya duduk, dia sudah mengomong gini, 'Ibu, 2010 itu mestinya sudah saya tangkap.' Habis itu saya ditekan-tekan lagi. Saya tertekan sekali waktu disidik," kata Miryam sambil menangis di persidangan kala itu.
Kemudian, hakim bertanya kembali, "Ibu waktu diperiksa itu menangis enggak?" Miryam mengaku menangis, tapi di kamar mandi. Sontak, jawaban Miryam itu membuat orang-orang di ruangan sidang menahan tawa. Kepada majelis, Miryam bilang saat diperiksa di KPK dia sampai muntah-muntah.
Hakim tersebut kemudian meminta Miryam untuk berkata jujur. Sebab, menurut hakim, jawaban Miryam dalam BAP itu terlihat jelas dan runut. "Jujur saja, ini disaksikan banyak orang, berikan keterangan yang benar," kata hakim .
Miryam lalu membalasnya dengan meminta agar BAP itu dicabut. Sebab, jawabannya saat diperiksa penyidik KPK sedang dalam kondisi tertekan dan asal keluar begitu saja, dengan maksud agar pemeriksaan cepat kelar. "Saya minta keterangan saya di BAP dicabut karena saya tertekan (saat diperiksa), saya takut pak. Terpaksa, saya ngomong asal saja," tutur dia kepada majelis.
Dalam kesaksian selanjutnya, Miryam menyangkal mengenal dan bertemu dengan Andi Narogong, serta membantah ikut menerima duit untuk menggolkan proyek KTP-el yang dirancang salah satunya oleh Andi Narogong. Padahal, isi BAP Miryam menyatakan sebaliknya. "Saya tidak pernah membagikan uang dan menerima uang," kata Miryam dalam kesaksiannya.
Selain itu, hakim John juga mengonfirmasi kepada Miryam soal pernyataannya dalam BAP bahwa program KTP-El ini adalah proyek milik Partai Golkar. "Tidak pernah mengemukakan hal seperti ini?," tanya John kepada Miryam.
Lagi-lagi, Miryam membantahnya dan mengatakan tidak pernah mengatakan demikian. "Tidak, Pak, tidak benar," jawab dia.
Selang beberapa lama setelah mencabut BAP, Miryam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Miryam dinilai telah memberikan keterangan palsu dalam persidangan kasus proyek pengadaan KTP-el di PN Tipikor Jakarta.
"Tersangka ini diduga dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam persidangan perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa Irman dan Sugiharto pada pengadilan tipikor Jakarta Pusat," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah pada 5 April lalu.
Atas keterangan berubah-ubah para saksi perkara KTP-el itu KPK bergeming. Para penyidik terus bekerja menyusun kepingan bukti penyidikan kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu. Hingga pada Senin (17/7), Ketua KPK Agus Rahardjo secara resmi mengumumkan status Setya Novanto yang berasal dari klaster politisi atau DPR. "KPK menetapkan Saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan melakukan tindak pidana korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korproasi dengan menyalahgunakan kewenangan sarana dalam jabatannya sehinga diduga merugikan negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan."