REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saksi kunci kasus korupsi wisma atlet, Yulianis, menyoroti lemahnya fungsi supervisi yang dimiliki KPK terhadap lembaga penegak hukum lain dalam menangani tindak pidana korupsi. Ini karena sulitnya lembaga lain memperoleh bukti mengingat sudah diserahkan semuanya kepada KPK.
"Koordinasi antarlembaga di KPK tidak berjalan, karena misalnya lembaga lain susah meminjam bukti kasus korupsi yang saya miliki padahal sudah saya serahkan kepada KPK semua," kata Yulianis dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus Hak Angket KPK, di Gedung Nusantara, Jakarta, Senin (24/7).
Dia mencontohkan ketika kepolisian mau memeriksa dia terkait salah satu kasus, penyidik lembaga itu menanyakan ada buktinya atau tidak. Lalu, Yulianis mengatakan dia sudah menyerahkan semua bukti kepada KPK sehingga lebih baik penyidik Polri meminta langsung kepada KPK.
"Penyidik Polri mengatakan sudah mengirimkan surat permintaan meminjam bukti itu kepada KPK namun tidak ditanggapi KPK," ujar Yulianis.
Menurut dia, kejadian itu juga terjadi di internal KPK misalnya ada penyidik KPK ingin menyelidiki proyek di Kementerian Perhubungan dan meminta keterangannya serta meminta bukti yang dimilikinya.
Yulianis mengatakan dirinya sudah menyampaikan kepada penyidik tersebut bahwa semua data yang dimilikinya sudah diserahkan kepada KPK. "Mereka minta data, lalu saya bilang mengapa meminta data lagi karena KPK sudah pegang semua sehingga tinggal meminta saja. Mereka bilangnya repot akhirnya saya bilang bahwa tidak bawa bukti dan data, jadi jangan periksa saya," kata dia.
Dia juga menyoroti penanganan kasus di KPK yaitu dari 162 proyek yang dijalankan Nazaruddin, lembaga antikorupsi itu hanya menangani lima proyek dan menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat dalam kasus Wisma Atlet saja. Kelima proyek itu, menurut dia, adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Mesuji, Lampung, dengan tersangka istri Nazaruddin, pengadaan di Universitas Udayana Bali dengan tersangka Marisi Matondang, pengadaan laboratorium Universitas Airlangga dengan tersangka Minarsih.
"Lalu pengadaan peralatan kesehatan di Rumah Sakit Universitas Airlangga dengan tersangka Minarsih, lalu Wisma Atlet dengan tersangka Rosa, Nazaruddin, Andi Mallarangeng, dan Wafid Muharam," katanya.