REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sistem politik anti-impor beras yang digadangkan oleh pemerintah selama ini dinilai belum mampu mengangkat nasib petani di Indonesia. Karenanya, Ombudsman RI meminta agar pemerintah bisa lebih aktif dalam penguatan peran Pemerintah terkait isu perberasan nasional.
Komisioner Ombudsman RI Alamsyah menuturkan, saat ini Ombudsman telah berhasil merumuskan tujuh malpraktek dalam tata niaga perberasan nasional. Pertama, dana prognosa atau dana yang mengacu pada masa depan dinilai memiliki banyak kepentingan. Artinya, lanjut dia, akurasi data produktivitas padi tidak pas dan cenderung mengarah pada surplus tapi harga tetap tinggi.
"Poin keduanya, penjualan pupuk subsidi. Petani kecil itu kan perlu biaya selama proses produksi, dan yang terjadi adalah petani menjual pupuk subsidi," kata Alamsyah saat ditemui Republika.co.id di Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor, Senin (31/7).
Selanjutnya, Alamsyah mengatakan, poin ketiga yaitu pelibatan aparat TNI yang bertentangan dengan syarat-syarat operasi militer non perang. Dia juga mengungkapkan, tidak semua penggilingan tergabung dalam asosiasi (tidak ada data akurat) yang berpotensi menghilangkan sumber penerimaan pajak.
Kelima, lanjut dia, adanya cadangan beras tak berkualitas karena penyerapan berdasarkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tanpa standarisasi, dan hal inilah yang mengancam kualitas stock beras. "Stock beras kita yang ada di Bulog kualitas dan kuantitasnya sangat memprihatinkan hanya 300 ribu hingga 400 ribu. Beda dengan India yang stocknya bisa mencapai jutaan ton. Ini mempengaruhi wibawa sebuah negara, tambah dia.
Lalu, poin keenam yaitu adanya salah sasaran pembagian beras raskin. Serta terakhir, ada larangan impor yang berpeluang memperbesar bahaya penyelundupan.