Sabtu 05 Aug 2017 13:21 WIB

Digitalisasi Ekonomi Menurunkan Daya Beli?

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Reiny Dwinanda
Warga memilih barang menggunakan web aplikasi belanja online di Jakarta, Rabu (25/11).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga memilih barang menggunakan web aplikasi belanja online di Jakarta, Rabu (25/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat dan Praktisi Ekonomi Digital, Umar Idris mengungkapkan, migrasi dari ekonomi konvensional ke ekonomi daring hanya sedikit perannya dalam menurunkan daya beli masyarakat. 

"Saya setuju pergeseran perilaku konsumen ke e-commerce menurunkan daya beli, tetapi kecil," kata dia di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (5/8).

Idris memaparkan pembeli yang mengisi transaksi pasar digital terdiri dari dua segmen utama, yakni konsumen dengan usia 18-24 tahun dan 24-35 tahun. 

Konsumen usia 18-24, menurut Idris, memiliki daya beli masih terbatas. Pada segmen usia 24-35, konsumen memiliki daya beli lebih besar. 

"Daya beli yang besar justru ada pada kelompok usia 35-49, meski dari proporsi kecil. Mereka itu keluarga muda," ujar dia.

Sementara itu, ekonom senior INDEF Prof. Didik Rachbini melihat indikasi penurunan daya beli. Ia mengatakan perpindahan transaksi dari konvensional ke daring tetap tidak menimbulkan adanya peningkatan laju ekonomi.

"Sektor retail pada tahun lalu 2016 masih tumbuh 16,3 persen, relatif tinggi. Sekarang April Mei dan Juni cuma 4 persen. Apakah retail pindah ke online? Sebagian ya, tapi pertumbuhan bagus membaik? Saya kira tidak. Bertambah, tapi pelan sekali," ungkap Didik.

Sedangkan, Wakil Ketua KEIN (Komite Ekonomi dan Industri Nasional) mengungkapkan, perjalanan ekonomi indoensia masih on the track. Adanya penurunan daya beli hanya terjadi di sektor barang sekunder atau pelengkap. Sedangkan untuk primer, misalnya konsumsi makanan, masih baik dan sejalan.

"Memang ada penurunan, untuk barang sekunder jangka lama, tapi konsumsi untuk primer baik dan sejalan. Ini karena konsumsen jadi lebih rasional dengan adanya teknologi sosial media yang membuat mereka melihat berbagai pertimbangan membeli," kata dia.

Sementara Sekjen Asosiasi Fintech Indonesia Karaniya Dharmasaputra menyebutkan jika model e-commerce tidak harus senantiasa berhadapan dengan retail konvensional di Indonesia. Pasalnya dua model itu bisa bekerja bersama. "Seperti Gojek dan Alfamart, Indomaret, itu bisa, proporsi pembayaran o to o (online to offline) bagus, saling memperkuat di sisi lain," ujar dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement