REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak nota keberatan (eksepsi) yang diajukan oleh anggota DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani. "Mengadili, menolak keberatan tim penasihat hukum Miryam S Haryani untuk seluruhnya," kata ketua majelis hakim Franky Tambuwun dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (7/8).
Sebelumnya Miryam mengajukan nota keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang mendakwanya memberikan keterangan yang tidak benar yakni memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan. "Penasihat hukum mengatakan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan Miryam merupakan kewenangan peradilan umum. Bukan tipikor karena pasal 22 di UU Pemberantasan Tipikor. Tapi majelis hakim tidak sependapat karena penasihat hukum menafsirkan sendiri," tambah Franky.
Terkait perkara pokok belum berkekuatan hukum tetap atas terdakwa Irman dan Sugiharto, majelis hakim juga tidak sependapat. "Karena untuk mengajukan orang sebagai terdakwa seusai pasal 22 tidak ada ketentuan dalam UU yang menyatakan harus menunggu perkara lain, karena hal itu tidak beralasan hukum dan harus ditolak," katanya.
Sehingga dakwaan penuntut umum nomor 40/4/07/2017 tanggal 3 Juli 2017 telah memenuhi syarat formal dan material sesuai dengan ketentuan pasa 143 ayat 2 huruf a dan b KUHP dan sah menurut hukum serta dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara. Dalam perkara ini, Miryam didakwa memberikan keterangan yang tidak benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh 3 orang penyidik KPK. Padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut tidak benar.
Pencabutan BAP itu terjadi dalam sidang pada Kamis (23/3) 2017. Selanjutnya pada Kamis (30/3) 2017 JPU menghadirkan kembali Miryam di persidangan bersama tiga penyidik yaitu Novel Baswedan, MI Susanto dan A Damanik. Ketiga penyidik itu menerangkan bahwa mereka tidak pernah melakukan penekanan dan pengancaman saat memeriksa terdakwa sebagai saksi.
Lebih lanjut diterangkan dalam 4 kali pemeriksaan pada 1, 7, 14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017 kepada terdakwa diberi kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keerangannya pada setiap akhir pemeriksaan sebelum diparaf dan ditandatangani Miryam. Setelah mendengar keterangan tiga penyidik KPK, hakim kembali menanyakan kepada Miryam terhadap keterangan tersebut.
Atas pertanyaan hakim, Miryam tetap pada jawaban yang menerangkan bahwa dirinya telah ditekan dan diancam penyidik KPK saat pemeriksaan dan penyidikan serta dipaksa mendatangani BAP. Sehingga Miryam tetap menyatakan mencabut semua BAP termasuk keterangan mengenai penerimaan uang dari Sugiharto.
Terhadap perbuatan tersebut, Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.