REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti menyambut baik dan mengapresiasi pertemuan para tokoh keturunan pendiri bangsa. Pertemuan tersebut, kata dia, merupakan panggilan moral dan komitmen kebangsaan untuk memperbaiki keadaan bangsa dan negara Indonesia.
"Putra dan putri pendiri bangsa membuat seruan kebangsaan, salah satu seruannya tokoh-tokoh partai politik diminta mengubah orientasi meraih kekuasaan semata menjadi orientasi melayani rakyat," katanya, Ahad (13/9).
Menurut Mu'ti, selama ini kita melihat orientasi kekuasaan (lust for power) dan primordialisme kepartaian dan golongan memang terasa menguat. Tentu keadaan ini tidak boleh dibiarkan. Kewenangan dan kekuasaan partai yang begitu kuat, kata dia, membuat partai politik begitu dominan dalam menentukan arah kehidupan dan perjalanan bangsa.
Karena itu sudah seharusnya partai politik lebih berpihak kepada rakyat, lebih banyak mendengar dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Terutama rakyat kecil yang tidak mempunyai akses kepada kekuasaan.
"Sekarang ini memang terdapat gejala dimana partai politik cenderung berpihak kepada elit penguasa dan pemilik kapital. Kehidupan demokrasi dan ekonomi menjadi begitu liberal dan kapitalistik," ujarnya.
Dalam situasi demikian, kata Mu'ti, seruan anak para tokoh pendiri bangsa tersebut menjadi aktual dan relevan. Putra dan putri pendiri bangsa juga menyeru agar Bangsa Indonesia berdaulat supaya menjadi tuan di negeri sendiri.
Dikatakan Mu'ti, sesuai konstitusi tugas dan fungsi pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh wilayah Indonesia. "Sekarang ini kita memerlukan pemimpin dan pemerintahan yang melayani dan mengayomi. Tapi yang sangat penting adalah pemimpin yang bisa menjadi teladan baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam melaksanakan amanah kepemimpinan," ujarnya.
Terkait dengan seruan agar merawat dan mengembangan Bhineka Tunggal Ika demi kemajuan bangsa, Mu'ti mengatakan, bahwa seruan seperti itu sudah sangat banyak dan sangat sering. Kata dia, yang lebih diperlukan sekarang adalah bagaimana mewujudkan dan merawat kebinekaan dalam tindakan bukan hanya slogam.