REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islamic Science Research Network (ISRN) dari UHAMKA menilai awal waktu Subuh dan Isya perlu dievaluasi. ISRN yang telah melakukan penelitian selama berbulan-bulan menemukan waktu Subuh yang biasa dipraktikan masyarakat Indonesia lebih awal dari waktu seharusnya. Begitu pula waktu Isya, diketahui lebih telat dari waktu seharusnya.
ISRN menyampaikan fakta saintifik hasil penelitiannya ini di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta - Jakarta Islamic Centre (PPPIJ-JIC) pada Senin (21/8). Puluhan orang dari kalangan akademisi, ahli falakiah, peneliti, pengurus masjid dan majelis taklim menyimak paparan dari ISRN.
Ketua ISRN dari UHAMKA, Prof Tono Saksono mengatakan, alat yang digunakan dalam penelitiannya adalah Sky Quality Meter (SQM). Alat ini digunakan untuk mengukur magnitudo. Alat untuk mengukur besaran yang menunjukan tingkat keterangan sebuah benda atau objek. ISRN juga menggunakan All Sky Camera, sebuah kamera cembung yang dapat memotret 360 derajat.
Dua alat tersebut digunakan untuk mengumpulkan data guna mengetahui kedatangan waktu fajar dan waktu Subuh. Data yang dikumpulkan alat tersebut diproses dengan bantuan komputer, kemudian disesuaikan dengan ayat-ayat Alquran dan hadis.
"Kami melakukan penelitian ini sudah tujuh bulan, kami menyadari baru-baru ini, waktu Subuh ternyata lebih cepat dari seharusnya," kata Prof Tono kepada Republika di PPPIJ-JIC, Senin (21/8).
Ia menerangkan, waktu fajar atau waktu Subuh ternyata terjadi pada rata-rata dip 12,9 derajat. Artinya, posisi Matahari berada di bawah ufuk pada posisi dip 12,9 derajat, itulah waktu Subuh yang seharusnya. Menurutnya, pada kondisi ini cahaya Matahari sudah mulai nampak.
Tapi, masyarakat Indonesia pada umumnya memulai Azan Shubuh saat posisi Matahari masih di 20 derajat di bawah ufuk. Dengan demikian, lanjut Prof Tono, waktu Shubuh di Indonesia lebih cepat dan selisihnya sampai dip 7,1 derajat.
Berdasarkan kecepatan rotasi bumi, waktu yang dibutuhkan dari dip ke dip sekitar 4 menit. Kalau waktu Subuh lebih awal sampai dip 7,1 derajat, maka waktu Shubuh lebih awal 28 menit. "Waktu Shubuh berarti 7,1 derajat lebih awal, jadi lebih awal 28 menit," ujarnya.
Berdasarkan hasil penelitian ISRN, waktu Shalat Isya pun dinilai lebih lambat dari waktu seharusnya. Dikhawatirkan, orang-orang masih ada yang melaksanakan Shalat Magrib padahal sebenarnya sudah memasuki waktu Isya.
Prof Tono yang juga anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan, berdasar hasil penelitian selama berbulan-bulan menggunakan teknologi modern, waktu Isya di Indonesia yang sering dipraktikan masyarakat pada umumnya saat posisi Matahari berada di dip 18 derajat di bawah ufuk. Padahal, seharusnya waktu Isya dimulai pada saat posisi Matahari berada di dip 11,1 derajat di bawah ufuk.
Dengan demikian, dijelaskan dia, waktu Isya lebih lambat dip 6,9 derajat dari waktu seharusnya. "Artinya Isyanya terlalu lambat kira-kira sekitar 28 menit. Sebetulnya untuk Isya tidak apa-apa terlalu lambat, tapi Maghribnya dikhawatirkan orang mengira itu masih waktu Maghrib, padahal sebetulnya sudah tidak boleh karena itu sudah masuk waktu Isya, itu persoalannya," jelasnya.
Ia juga menyampaikan, hasil penelitian ISRN ingin disosialisasikan kepada masyarakat luas. Sebab, melaksanakan shalat harus pada waktunya sesuai perintah Allah.