REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Krisis kemanusiaan di Rakhine akan dimasukkan dalam Rekomendasi Bali di Forum Parlemen Dunia (WPF) yang akan ditutup hari ini, Kamis (7/9). Sebanyak 285 delegasi dari 47 parlemen di berbagai negara yang hadir di ajang ini berperan penting mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif, memperkuat kemitraan global untuk pembangunan, juga perdamaian berkelanjutan.
Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Nurhayati Ali Assegaf mengatakan pembangunan berkelanjutan menyepakati tentang hak asasi manusia (HAM). Dalam kasus Myanmar, Nurhayati menilai sudah terjadi pelanggaran HAM, yaitu kekerasan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya. Ini memicu keprihatinan delegasi-delegasi yang hadir.
"Rekomendasi Bali ini nantinya memuat kesepakatan dalam HAM, salah satunya berisi buah pikir delegasi untuk mengupayakan berakhirnya krisis kemanusiaan di Rakhine," kata Nurhayati, Kamis (7/9).
Nurhayati mencontohkan banyak sekali perempuan dan anak yang terbunuh di negara yang dulunya bernama Burma itu. Kekerasan terhadap etnis Rohingya terjadi berulang kali. Pembangunan berkelanjutan, menurutnya tak akan tercapai tanpa adanya perdamaian dunia.
"Pembantaian di Myanmar bukan lagi masalah Myanmar atau ASEAN, tapi juga dunia," katanya.
Rekomendasi Bali di Forum Parlemen Dunia akan ditembuskan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Suara perlemen dunia ini harapannya membantu dalam hal jaminan keselamatan dan keamanan etnis Rohingya di Rakhine.
Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan Forum Parlemen Dunia ini menjadi momentum pas untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan di Rakhine. Masa depan etnis Rohingya adalah bagian dari konsolidasi demokrasi, sebab di dalamnya ada masalah multikultur.
Kaum minoritas perlu mendapat perlindungan hak. Kegagalan dalam mengelola perbedaan etnis yang berujung diskriminasi dan kekerasan terhadap etnis Rohingya, kata politikus asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini membahayakan demokrasi di Myanmar.
"Jika penyelidikan awal itu benar bahwa militer Myanmar terlibat dalam kekerasan bersenjata, maka ini bukan lagi masalah biasa, melainkan kejahatan kemanusiaan," ujarnya.
Militer Myanmar secara komando dan terorganisir diduga menyisir penduduk, melakukan kekerasan, membunuh, dan mengusir ratusan ribu jiwa dari etnis ini. Jika hal itu terbukti, kata Fahri Myanmar bisa diberi sanksi oleh ASEAN dan dunia, bahkan diseret ke Mahkamah Internasional atas pelanggaran HAM.
Fahri mendorong parlemen yang hadir dalam kesempatan ini untuk menginisiasi penyelesaian masalah kemanusiaan di Myanmar. Mereka yang hadir, antara lain Bhutan, Chile, Fiji, Ghana, India, Zimbabwe, Kanada, Ekuador, Iran, Yordania, Meksiko, Portugal, Qatar, Korea Selatan, dan Turki. Forum Parlemen Dunia 2017 juga dihadiri 19 observer, antara lain ASEAN Inter Parliamentary Assembly (AIPA), United Nations Development Programme (UNDP), European Union, dan Migran Care.