REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Walaupun menjadi masalah klasik, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Rosdidayanti Rozalina mengatakan saat ini adalah momentum untuk mengevaluasi kembali pajak yang dikenakan pegiat literasi. Ida menjelaskan, saat ini Persatuan Penulis Indonesia (SATU PENA) dan IKAPI sedang meneruskan langkah untuk kesejahteraan penggiat literasi.
"Kita mendorong bagaimana (isu Pajak) yang dimulai oleh penulis (Tere Liye)," ujar dia saat membuka acara Workshop Penulis dan Penerbit di even Indonesia International Book Fair, Senayan JCC, Sabtu (9/9).
Wanita yang akrab disapa Ida itu menjelaskan, akan ada beragam dampak baik dari kemungkinan pembebasan pajak profesi penulis. Beberapa di antaranya adalah harga buku yang bisa semakin murah dan merata. "Agar buku menjadi murah, merata dan makin bermutu, sesuai dengan semangat Undang-undang Sisbud ya," kata dia.
Sedangkan Ketua SATU PENA, Nasir Tamara mengatakan agar pemerintah tidak mempersulit profesi penulis dengan tingginya pajak. Penulis menurut dia adalah profesi pendidik bagi bangsa dan memiliki kontribusi besar bagi pembangunan bangsa. "Dia (penulis) itu ingatan bangsa, dia mendorong imajinasi, dia mendorong inovasi," kata Nasir.
Sebelumnya, tingginya pajak pendapatan profesi penulis dikeluhkan oleh penulis fiksi kondang, Tere Liye. Tere Liye mengatakan dalam akun Facebook-nya tidak akan mencetak buku lagi akibat ketidakadilan pajak.
Keluhan tersebut juga diaminkan oleh rekannya sesama penulis, Dee Lestari. Dee Lestari bahkan menulis dalan akun sosial medianya tentang jumlah prosentase pendapatan mereka dari penjualan karya tulis mereka. Dee menjelaskan dari harga buku, penulis hanya mendapatkan royalti sebesar 10 persen, dan kembali dipotong pajak tinggi sebesar 15 persen.