REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bangunan masjid di Cina menggunakan material yang berbeda dari bangunan masjid di kebanyakan negara beriklim kering. Di Cina, kayu melimpah sehingga material bangunan apa pun, termasuk masjid, didominasi kayu. Dengan metode kuda-kuda, tak ada baut dan sekrup untuk merekatkan satu bagian dengan bagian lain.
Kemahiran pertukangan kayu ini tumbuh antara abad 14 hingga 17. Tumpukan dan penggabungan kuda-kuda pada kayu bangunan biasanya menghasilkan ornamen seperti sta laktit yang mirip ornamen bangunan Islam di Bukhara hingga Granada. Kompleksitas susunan kayu akan menunjukkan usia bangunan: makin kompleks, makin tua.
Bila kayu jadi meterial utama bangunan, bata jadi material utama pelindung luar bangunan. Bila pun hari ini bata digunakan untuk bangunan uta ma, fungsinya lebih untuk mengo koh kan fondasi daripada badan bangunan.
Bagi Muslim, keberadaan mihrab di masjid sangatlah penting. Begitu pula bagi Muslim Cina. Konstruksi mihrab dibangun laiknya mihrab lain dengan penyesuaian berupa langit-langit yang berbentuk kubah.
Dekorasi masjid-masjid yang di amati tampak menggabungkan motifmotif tradisional Islam dalam kaligrafi, ornamen geometris, dan ornamen flora dengan motif tradisional Cina, seperti teratai, naga, dan phoenix. Kaligrafi menjadi penanda jelas satu tempat merupakan tempat ibadah Muslim atau yang lain.
Kaligrafi Arab di Cina terbilang lebih luwes dibanding yang lain. Sebab guratannya menggunakan kuas yang menunjukkan panjangnya tradisi menulis menggunakan kuas di sana dibanding menggunakan pena seperti di wilayah Muslim lainnya. Ornamen floral tak banyak bertentangan antara kedua kultur. Namun, ornamen mitos Cina tetap muncul dalam bentuk berbeda baik dalam ukiran, lukisan, maupun hiasan atap.
Misalnya pada Masjid Agung Utara di Qinyang, Provinsi Henan, yang atapnya ditutup genting keramik dengan hiasan motif flora, naga, dan phoenix. Di ujung-ujung atap, genting berbentuk bulat dihiasi kaligrafi Arab atau gambar naga.
Dari semua masjid tua yang ditelusuri, Masjid Hongshuiquan (Musim Semi) di Ping'an, Provinsi Qinghai, yang letaknya di hulu Sungai Kuning merupakan yang paling mengesankan. Masjid terpencil ini sangat minim restorasi, tapi kondisinya terjaga baik. Atap-atap masjid disusun tanpa baut dan skrup, tapi menggunakan sistem kuda-kuda kayu yang kokoh. Warna bangunan masjid ini masih asli, warna kayu. Mihrab masjid ini berben tuk persegi dengan atap kayu berben tuk kubah.
Suara burung Wiwik di tengah ke he ningan desa menjadi hal yang amat mahal di tengah modernitas Cina. Ki cau burung itu seakan membawa sua sana kembali ke abad 18 atau 19 saat masjid ini baru berdiri.