REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Bakar Muhammad bin Zakariyya ar-Razi (313 H/925 M), pelopor kedokteran di dunia Islam selain Ibnu Sina, mengarang sebuah kitab yang berjudul Akhlaq at-Thabib. Menurutnya, Di antara etika yang mesti dijaga oleh seorang dokter ialah sikap ramah, lemah lembut, dan mengedepankan pelayanan terhadap pasien.
Termasuk, menjaga rahasia hasil diagnosis ataupun privasi pasien lainnya. Tidak setiap pasien berkenan penyakitnya diketahui oleh orang lain. Bisa jadi pula ada rahasia menyangkut fisiknya yang tak boleh semua orang tahu.
Selain itu, ungkap penulis kitab al-Judari wa al-Hasbah ini, seorang dokter tidak boleh membanggakan diri dan terhinggap penyakit sombong. Kesombongan dokter akan mencederai kemuliaan profesinya. Salah satu bentuk kerendahan hati itu ialah komitmen untuk mengobati semua pasien tanpa melihat status sosial dan level ekonomi mereka. Kewajiban dokter di hadapan pasien sama, baik mereka yang kaya maupun miskin, tetap harus diobati.
Ia menambahkan, dalam proses pengobatan, dokter dituntut selalu bertawakal bahwasanya tiada kesembuhan kecuali atas kehendak Allah SWT. Namun demikian, kepasrahan itu tidak mengurangi komitmen untuk mencurahkan usaha terbaik melayani pasien.
Minimal, upaya itu diwujudkan dalam bentuk pengecekan nadi atau detak jantung tiap harinya. Termasuk, memperhatikan pola makan pasien. Apa sajakah makanan atau minuman yang layak dikonsumsi.
Bila dinilai bisa membayakan kondisinya maka harus dilarang. Tak kalah penting ialah mengontrol konsumsi obat pasien. Resep obat yang diberikan harus sesuai dengan dosis. Kalau memang diperlukan, informasikan secara utuh apa kegunaan obat tersebut dan bagaimana aturan pemakaiannya.
Langkah itu akan sangat bijak dan memberikan rasa aman dan nyaman bagi pasien. Demikian pula menghindari kecurigaan bagi terjadinya malapraktik selama pengobatan berlangsung. Saat kondisi pasien membaik pun, perhatian itu tak boleh terhenti.
Dalam proses dan masa inkubasi, dokter tetap memiliki kewajiban dan tugas melakukan kontrol dan pengawasan. Apa pun kode etik yang diutarakan oleh ar-Razi pada hakikatnya merupakan implementasi dari nilai-nilai kemanusiaan yang kental dengan prinsip-prinsip luhur Islam. Bagaimana menghormati, mengasihi, dan berusaha menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama.
Pengharapan masyarakat, terutama pasien, terhadap figur dokter sangat besar. Nyaris, seorang dokter diposisikan sebagai "juru selamat". Karena itu, sikap rendah hati, penyayang, dedikasi tinggi, komitmen, profesionalitas, dan budi luhur lainnya tampaknya adalah syarat mutlak bagi dokter. "Ia bagaikan oase di tengah padang dan saat terik matahari," tulis cendekiawan Muslim yang terkenal piawai di berbagai bidang ilmu agama itu.