REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Status hukum umat Islam di Austria termasuk unik di Eropa. Selama bertahun-tahun, sebagai pusat Kekaisaran Austro-Hungaria, Austria terkait erat dengan populasi Islam di Balkan. Dengan sejarah ini, hubungan Austria dengan Islam sebagai agama, relatif tidak bermasalah dibandingkan negara-negara Eropa lainnya.
Sebuah undang-undang tahun 1867 menjamin penghormatan terhadap semua agama di seluruh kekaisaran, memberi umat Islam hak untuk mendirikan masjid dan mempraktikkan agama mereka. Muslim juga menempati posisi yang baik dalam dinas sipil Austria, dan masjid pertama sudah dibangun di Wina pada tahun 1887 dengan bantuan pemerintah untuk melayani umat Islam yang terdaftar di tentara Austria.
Umumnya pemerintah Austria memberikan kebebasan beragama untuk semua masyarakat. Meskipun Katolik Roma lebih dominan di antara populasi, negara pada umumnya sekuler. Organisasi keagamaan didirikan oleh Undang-Undang tentang Pengakuan Gereja tahun 1874.
Undang-undang tersebut memberi umat Islam berbagai hak dan hak istimewa, termasuk hak untuk mengatur dan mengelola urusan masyarakat mereka secara independen melalui dewan kotamadya dan untuk membentuk dana abadi Islam.
Pada tahun 1919, berbagai hak dan hak istimewa ini diperkuat dengan penandatanganan kesepakatan Saint-Germain, di mana pemerintah Austria menjanjikan perlindungannya bagi kaum minoritas dan menegaskan hak setiap warga negara untuk mengambil jabatan penting tanpa memperhatikan agama atau asal etnis.
Ketentuan ini kemudian diperkuat oleh Undang-Undang tentang Komunitas Konfesional Agama tahun 1998. Organisasi dikategorikan sebagai masyarakat religius, komunitas pengakuan agama, dan asosiasi dengan status hukum yang berbeda. Klasifikasi sebagai masyarakat religius memungkinkan partisipasi dalam sistem kontribusi negara bagian, penyediaan pengajaran agama di sekolah umum dan pembiayaan untuk sekolah swasta.