Kamis 05 Oct 2017 17:15 WIB

Islamofobia Jadi Masalah Serius di Austria

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Agung Sasongko
Islamofobia (ilustrasi)
Foto: Bosh Fawstin
Islamofobia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Perundang-undangan yang melarang penggunaan cadar di Austria disetujui pada bulan Mei sebagai bagian dari proposal yang lebih luas yang ditujukan untuk melawan bangkitnya Freedom Party, yang mendekati pemilihan presiden Austria, Januari lalu.

Dalam tindakan tersebut, Austria juga melarang penyebaran Quran dan mewajibkan semua pengungsi dan imigran untuk berpartisipasi dalam program "integrasi" untuk belajar bahasa Jerman dan "etika Austria".

Carla Amina Baghajati, seorang aktivis hak asasi manusia dan juru bicara Otoritas Agama Islam Austria, sebuah institusi publik yang mewakili umat Islam, mengaitkan larangan cadar wajah tersebut sebagai upaya para politisi untuk "mengirim pesan kepada publik bahwa mereka memegang kendali" dari situasi keamanan.

Ketakutan akan "ekstremisme" telah didorong oleh kedatangan pengungsi. Tapi Austria telah bersikap keras terhadap masuknya pengungsi.

Awal tahun ini, pemerintah mengatakan kepada Uni Eropa bahwa mereka tidak lagi menerima pengungsi, yang banyak di antaranya adalah orang-orang Syria yang mencari perlindungan dari perang selama enam tahun yang mengganggu negara mereka.

Pada bulan Februari, Menteri Luar Negeri Sebastian Kurz menyerukan pembentukan kamp-kamp massa di Afrika Utara untuk pengungsi yang melarikan diri ke Eropa.

Farid Hafez, peneliti senior di Georgetown University's Bridge Initiative, mengatakan bahwa gagasan tentang larangan kerudung wajah mencerminkan imajinasi Islamofobia tentang apa yang telah dianggap sebagai 'masalah Muslim' di beberapa negara di seluruh Eropa.

"Islamofobia adalah masalah di Austria karena ini adalah masalah dan tantangan terhadap demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan beragama di banyak negara Eropa saat ini," Hafez, yang juga seorang profesor di Universitas Salzburg, mengatakan kepada Al Jazeera, memperingatkan bahwa larangan ini bisa memiliki "konsekuensi serius".

"Orang-orang biasa di jalan akan merasa dimungkinkan untuk bertindak tidak hormat terhadap wanita Muslim, menghina mereka secara terbuka di jalan," kata Hafez, menambahkan bahwa wanita Muslim muda yang memiliki impian akan merasa "terhambat".

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement