REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada abad ke-21 kini, memperhadapkan Islam dengan Barat cenderung tidak faktual. Sebab, di Barat, sekelompok kaum Muslim dapat menetap dan dilindungi hak-haknya, terutama dalam bingkai demokrasi.
Demikian pula di Timur (Asia/Afrika), baik non-Muslim maupun Muslim, keduanya dapat hadir setara sebagai warga negara demokratis. Dengan perkataan lain, Barat dalam era kekinian lebih sebagai sebuah konsep di tataran budaya, alih-alih identitas agama tertentu.
Namun, sejarah hingga abad ke-20 mengungkapkan narasi yang berbeda.Barat lebih sebagai wajah peradaban Kristen yang datang dari Benua Eropa.Kolonialisme menjadikan hubungan kian frontal antara umat Islam dan Barat, khususnya setelah Revolusi Industri.
Jauh sebelumnya, sejak Abad Pertengahan, konfrontasi yang lebih bersifat fisik telah terjadi dalam rentang waktu yang lama dan cukup signifikan. Puncaknya adalah Perang Salib yang berlangsung secara periodik dua abad lamanya.
Perang ini diawali agitasi Paus Urban II pada 1095. Karen Armstrong melalui bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World(2001), meng kritisi mental perang-suci yang diusung sang paus. Sebab, Armstrong mengungkapkan, di masa itu sesungguhnya orang-orang Kristen, Yahudi, dan Islam hidup dalam harmoni di Yerusalem.
Ujaran Paus Urban II bahwa orang Kristen hidup menderita akibat tekanan kaum kafir (Muslim) di tanah kelahiran Nabi Isa itu, dengan demikian, hanya fantasi. Beranjak dari sekadar mengon struksi fantasi menuju kajian yang sistematis. Di sinilah alasan keberadaan (raison d'etre) mula-mula studi keislaman atau Islamic studiesdi Eropa.