REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibu ibarat rahim peradaban. Dari rahim seorang ibu terlahir generasi baru dengan barbagai sifat dan perilaku. Ibu menjadi madrasah untuk mencetak generasi tersebut menjadi pemimpin-pemimpin di setiap masa. Peran seperti itulah yang tergambar dari kisah hidup Jurasyiyah binti 'Atha, yang dijuluki Khaizuran. Ia berasal dari Yaman.
Pada awalnya, Khaizuran adalah seorang budak milik al-Mahdi, khalifah ketiga Bani Abbasiyah. Statusnya sebagai budak membawanya ke istana. Ia mengenal baik khalifah dan keluarganya serta sistem pemerintahan dan politiknya.
Sebagai budak, Khaizuran juga memiliki kesempatan untuk menggali ilmu dari perpustakaan pribadi milik al-Mahdi. Ia datang ke majelis-majelis ilmu di Baghdad untuk memantapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Di sela waktunya, ia rajin menghafal Alquran.
Khaizuran tumbuh menjadi perempuan yang cerdas. Ia merupakan salah seorang penasihat pribadi al-Mahdi, baik sebelum maupun setelah diangkat menjadi khalifah. Ia sering hadir dalam rapat-rapat kenegaraan walau masih berstatus sebagai budak.
Kedekatan al-Mahdi dan Khaizuran menimbulkan pro dan kontra. Ini juga membuat istri pertama al-Mahdi cemburu. Dalam kondisi seperti itu, al-Mahdi memilih untuk menikahi Khaizuran dan mengukuhkan posisinya sebagai ibu negara.
Dari pernikahan dengan al-Mahdi, Khaizuran dikaruniai tiga orang anak. Dua anak laki-lakinya bernama Musa dan Harun. Anak perempuannya meninggal saat masih kecil.