Rabu 11 Oct 2017 20:26 WIB

Pantau Kawah Gunung Agung, BNPB Manfaatkan Drone

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Gunung Agung, Bali.
Foto: ABC News
Gunung Agung, Bali.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak Gunung Agung ditetapkan berstatus 'awas', hingga saat ini Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi (PVMBG) sulit memantau secara visual kawah Gunung Agung. Untuk membantu pemantauan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggunakan drone untuk melihat secara visual kawah Gunung Agung.

Sulitnya pengamatan visual ini dikarenakan aktivitas vulkanik Gunung Agung masih tinggi, sehingga memunculkan rekahan di dinding kawah. Rekahan ini mengeluarkan asap putih bertekanan rendah dengan tinggi 50-200 meter, sehingga menutupi mulut kawah. Asap tersebut adalah proses uap air yang terpanaskan.

Secara visual belum terlihat tanda-tanda letusan Gunung Agung. Tidak adanya peralatan di puncak kawah menyebabkan sulitnya mengetahui kondisi visual kawah secara terus menerus. Sementara itu puncak kawah berbahaya dan tidak boleh ada aktivitas masyarakat.

Kepala BNPB Willem Rampangilei berinisiatif melakukan pemantauan puncak kawah dengan menerbangkan drone (pesawat tanpa awak), bersama PVMBG. Drone yang diterbangkan memiliki spesifikasi khusus kemampuan terbang tinggi dan mampu mendokumentasikan semua fenomena di kawah.

"Tanpa drone kita tidak tahu apa yang terjadi. Citra satelit tidak dapat setiap saat memantau perkembangan kawah. Oleh karena itu, drone menjadi pilihan yang terbaik. Aman, efektif dan update," kata Willem dalam keterangan tertulisnya, Rabu (11/10).

BNPB mengerahkan 5 unit drone dengan spesifikasi berbeda. 3 unit drone fixed wing yaitu Koax 3:0, Tawon 1.8 dan Mavic, sedangkan 2 unit drone jenis rotary wing adalah multi rotor M600 dan Dji Phantom.

Mengingat tinggi Gunung Agung sekitar 10.400 kaki maka diperlukan drone yang memiliki kemampuan terbang tinggi. Tidak banyak drone yang memiliki kemampuan terbang tinggi.

"Rata-rata drone didesain terbang pada ketinggian 7.000 kaki sehingga saat diperlukan untuk terbang tinggi tidak banyak yang tersedia," ungkapnya.

Ia menjelaskan drone Koax 3:0 dan Tawon 1.8 memiliki kemampuan terbang hingga 13 ribu kaki. Mesin menggunakan baham bakar ethanol agar dapat terbang tinggi. Drone rotary wing digunakan mampu terbang ketinggian 500 meter untuk memetakan permukiman dan alur-alur sungai.

Untuk mendukung semua itu digunakan Ground Control Station yang mobile. Persiapan terbang telah dilakukan. Flight plan dan ujicoba terbang telah dilakukan dari landas pacu di Kubu.

"Siang tadi flight plan terbang berputar Gunung Agung sampai ketinggian 11.500 kaki telah dilakukan menggunakan drone jenis Tawon 1.8," terangnya.

Namun saat drone terbang diketinggian 6.000 kaki, kamera mengalami masalah maka drone kembali ke landasan. Pesawat normal dan mampu terbang tetapi adanya risiko blind flight di gunung maka penerbangan tidak dilanjutkan. Rencana misi penerbangan akan dilakukan besok pagi, Kamis (12/10), dari Kubu.

Menurut Willem penggunaan drone untuk penanggulangan bencana bukanlah hal yang baru. Untuk kebutuhan kaji cepat yang efektif, drone sangat bermanfaat. Keluwesan terbang drone, baik vertikal maupun horizontal dalam jangkauan tertentu, serta kemampuan mengambil gambar dari ketinggian tertentu, drone telah menawarkan gambar atau landscape berbeda dalam melihat peristiwa bencana.

Beberapa kali BNPB bersama Lapan, BIG, BPPT, TNI, Basarnas, BPBD dan relawan menerbangkan drone untuk penanganan bencana seperti dalam penanganan letusan Gunung Sinabung, Gunung Kelud, banjir Jakarta, longsor Ponorogo, longsor Banjarnegara dan lainnya.

Ia mengungkapkan sebuah studi yang dilakukan Palang Merah Amerika menyebutkan bahwa drone adalah salah satu teknologi baru yang paling menjanjikan dan ampuh untuk meningkatkan respon bencana.Amri Amrullah

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement