Kamis 12 Oct 2017 14:27 WIB

Studi Islam dan Upaya Meredam Islamofobia

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Agung Sasongko
Islamofobia (ilustrasi)
Foto: Bosh Fawstin
Islamofobia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Islam dan Barat kerap dianggap air dan minyak sehingga tidak bisa bersamasama. Keduanya selalu diposisikan berhadap-hadapan sehingga dianggap tak pernah bersinergi.

Kepala Badan Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Latihan (Balitbang Diklat) Kementerian Agama Prof Abdurrahman Mas'ud menjelaskan, Islam dan Barat semestinya bisa bersinergi dengan apik sehingga membangun kehidupan. Berikut penjelasan gagasannya lebih lanjut kepada wartawan Republika Erdy Nasrul pekan lalu.

Bagaimana menyikapi Islamofobia?

Islamofobia memang ada di Barat, tapi me reka bukan mayoritas. Mereka adalah se ke lompok orang yang tendensius dan meman dang Islam sebelah mata. Tapi jangan lu pa, di sekitar kita ada western phobia. Me reka adalah orang-orang yang anti- Barat in toto.

Saya mencoba menjembatani keduanya. Tujuh tahun belajar di AS lama sekali. Bu kan hanya saya, Muhammad Abduh belajar di Barat selama tiga bulan saat diasing kan ke Prancis pada abad ke-19. Apa kata dia? Ketika ditanya siswa dan penggemarnya tentang pengalaman hidup di Prancis, Abduh mengatakan, ketika di Prancis dia tidak menemukan Muslim, tapi saya melihat Islam di sana.

Abduh melihat ajaran Islam diterapkan masyarakat Barat, seperti soal kedisiplinan, kebersihan, etos kerja, integritas, dan menghormati orang lain. Semua itu sangat islami.

Bagaimana dengan tokoh yang mendiskreditkan Islam?

Di Barat sekarang ada Presiden Amerika Do nald Trump atau yang sebelumnya Geor ge W Bush yang bias menyikapi Islam. Ha rus diingat bahwa mereka tidak mewakili ke seluruhan sikap Barat. Kita juga di sini apa kah Islam hanya diwakili kelompok tertentu? Tidak. Saya dan beberapa ilmuwan Ba rat kemudian menyimpulkan bahwa In donesia adalah tempat ber kembangnya the smiling Muslim atau Muslim yang tersenyum.

Mari kita lihat Islam di Indonesia se cara komprehensif. Ada pandangan dari Mu hammadiyah, Nahdlatul Ulama, dunia pe santren, Persis, al-Wasliyah, dan banyak lagi kelompok dan organisasi Islam yang sudah mengakar dan terbukti ber kontribusi besar bagi bangsa ini. Mereka adalah repre sen tasi Islam yang tersenyum, ramah, toleran, dan selalu membuka dialog sehingga sinergi peradaban terjadi dengan sangat baik.

Masyarakat Barat juga sama seperti kita. Mereka ramah dalam bersikap dan santun dalam bertutur kata. Memang selalu ada saja segelintir orang yang seperti Trump atau Bush yang umumnya politikus.

Mereka yang suka membenci hanya kelompok kecil?

Kenyataannya seperti itu. Mereka insignifikan. Baik yang membenci Islam se per ti yang terjadi di Barat ataupun yang membenci Barat seperti di Indonesia, tidak signifikan. Intinya, mereka kurang gaul, merasa memiliki surga sendiri, yang lain dianggap tidak berhak masuk surga. Ibarat ke hidupan dalam sebuah komunitas, kelom pok yang suka membenci ini adalah sosok yang penyendiri, tidak suka makan bareng-bareng teman, kurang pergaulan (kuper), kurang piknik, kurang fasiru fil ardh.

Kedua belah pihak sudah sama-sama dipenuhi kebencian sehingga tidak mau lagi mengkaji khazanah keilmuan masingmasing. Kalau mereka mendalami perjalan an dan perkembangan hidup, pasti akan membuka dialog konstruktif. Sejatinya, semua ciptaan Allah pasti akan bersinergi, bersosialisasi, dan merangkul pihak lain, untuk sama-sama berkembang. Sulit rasanya untuk berdiri sendiri tanpa berkomunikasi dan melibatkan pihak lain.

Apakah para pembenci itu mau diajak dialog?

Seharusnya mau ya. Komunikasi yang baik, sama-sama mendengar saling me mahami, tentu harus dilakukan dengan membuka diri. Harus sama-sama bersikap inklu sif. Islam dan Barat hidup berdampingan. Namun, ada saja yang meng halangi. Mereka adalah sekelompok orang yang menutup diri sehingga lebih mengedepankan konfrontasi dan permusuhan.

Usaha menuju kebaikan memang harus diwujudkan. Membangun dialog dengan siapa pun tetap harus diupayakan. Memang tidak mudah, tapi pasti ada jalan untuk menuju kesana. Penyair Sufi berpesan, listen with the ears of tolerance, see through the eyes of compassion, speak with the language of love. (Dengarkan dengan penuh kesabaran, lihat dengan pandangan kasih sayang, bicara dengan bahasa cinta).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement