Senin 16 Oct 2017 20:21 WIB

DPR Nilai Densus Tipikor Jadi Pertaruhan Nama Baik Polri

Rep: Singgih Wiryono, Kabul Astuti/ Red: Andri Saubani
Anggota Komisi III DPR-RI, Nasir Djamil usai gelar rapat gabungan Komisi III bersama KPK, Polri, dan Jaksa Agung di Gedung Nusantara II, Senin (16/10).
Foto: Republika/Singgih Wiryono
Anggota Komisi III DPR-RI, Nasir Djamil usai gelar rapat gabungan Komisi III bersama KPK, Polri, dan Jaksa Agung di Gedung Nusantara II, Senin (16/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mengatakan, pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) membawa pertaruhan nama baik Polri. Pasalnya, jika Densus Tipikor dibentuk institusi Polri dan diberikan kesempatan untuk membantu memberantas Korupsi, tapi tidak berhasil, hal tersebut akan menambah ketidakpercayaan publik terhadap Polri.

"Kalau jadi dibentuk, itu densus menjadi taruhan kepolisian sehingga pembentukan densus menjadi jawaban pertanyaan publik," ujar dia saat ditemui di Gedung Nusantara II, Senin (16/10).

Nasir menjelaskan, memang benar ide pembentukan Densus Tipikor berawal dari permintaan Komisi III. Komisi III bertanya apakah Polri siap jika dibentuk suatu bentuk Densus Tipikor. "Wacana ini kan sudah ada sebelumnya. Waktu itu Polisi siap, tentu siap ini harus siap sumber daya manusianya, SOP-nya dan lain sebagainya," kata dia.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga mengatakan, tentu saja Densus Tipikor yang dibentuk memiliki kewenangan dan hak yang masih didasarkan Undang-Undang Kepolisian seperti saat ini. Tidak ada perbedaan yang segnifikan, walaupun dalam bentuk nama, sudah berbeda menjadi Detasemen Khusus.

Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nasir mengatakan, KPK punya kewenangan yang besar, mulai dari penyelidikan dia sudah punya kewenangan untuk menyadap. Berbeda dengan polisi yang harus melewati penyidikan dan izin pengadilan. "Jadi memang nggak bisa dibandingkan dengan KPK," kata dia.

Oleh sebab itu, jika KPK dibantu mewujudkan kembali kepercayaan publik pada Polri dengan cara membentuk Densus Tipikor untuk membenahi institusi Polri, maka saat itu KPK berhasil dalam pemberantasan korupsinya. "Memang kehadiran KPK itu karena institusi penegak hukum sebelumnya tidak efektif, maka KPK hadir," kata dia.

Nasir berharap, dengan kehadiran Densus Tipikor bisa mendukung penguatan koordinasi, sinergitas antara tiga lembaga hukum, Polri, Kejaksaan, dan KPK. Untuk akhir pembentukan Densus, jika polisi sudah kembali dipercaya publik untuk menangani kembali kasus korupsi maka KPK diprediksi akan akan berubah menjadi suatu unit yang mungkin bisa disatukan bersama Ombudsman.

Wakil Ketua Komisi III DPR-RI, Desmond J Mahesa megatakan, pembentukan Densus Tipikor dan pelibatan BPK bertujuan untuk membantu memaksimalkan kinerja KPK dalam pemberantasan Korupsi. Pelibatan BPK sendiri, lanjut dia, agar tidak ada lagi penetapan tersangka sebelum adanya pembuktian kerugian keuangan negara. "Ke depan jangan sampai ditetapkan orang tersangka tanpa pembuktian kerugian uang negaranya tidak jelas, ini yang merugikan orang," ujar dia saat ditemui di Gedung Nusantara II, Senin (16/10).

Politikus Partai Gerindra tersebut menegaskan, penetapan tanpa bukti sangat merugikan nama tersangka. Oleh sebab itu, langkah membentuk Densus Tipikor dan melibatkan BPK menurut dia, merupakan salah satu perbaikan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi.

Bahkan, lanjut Desmond, tidak hanya di bidang audit keuangan. Akan tetapi akan ada evaluasi kewenangan dan koordinasi di bidang penyadapan juga. "Termasuk ke depan pola koordinasi penyadapan," jelas dia.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani mengatakan rencana pembentukan Densus Tipikor Polri tidak untuk mengakhiri keberadaan KPK.

Arsul mengatakan, KPK tetap diperlukan. Menurut dia, pembentukan Densus Tipikor justru untuk menciptakan semacam kompetisi yang sehat. Dengan adanya dua lembaga pemberantasan korupsi, publik dapat menilai mana yang lebih baik ketegasannya, efisiensinya, efektivitasnya, serta due process of law-nya.

"Saya tidak tahu masing-masing fraksi, tapi perspektif beberapa fraksi termasuk PPP, kalau pun densus itu dibentuk tidak berarti itu adalah sarana untuk mengakhiri keberadaan KPK. Nggak begitu," kata Arsul Sani di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (16/10).

Arsul menyatakan pembagian tugas antara KPK dengan Densus Tipikor perlu diatur. Peta jalan pemberantasan korupsi bisa dibagikan sesuai porsi. Menurut Arsul, pimpinan KPK dalam rapat bersama Komisi III telah menyambut positif rencana pembentukan Densus Tipikor ini.

Arsul menjelaskan, salah satu usulannya jika ada kasus yang menyangkut penegak hukum, misalnya jaksa, maka diproses oleh pimpinan kejaksaan. KPK cukup menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi. Kecuali, apabila nanti proses penegakan hukumnya tidak berjalan, KPK punya kewenangan untuk mengambil alih. "Roadmap (pemberantasan korupsi) itu sudah ada di KPK, nah persoalannya adalah fungsi koordinasi dan supervisi itulah yang belum jalan," kata Arsul Sani.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement