REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Umar Husein menilai, sikap Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menolak pembentukan Densus Tipikor sebagai hal yang wajar. Menurut dia, hal itu selalu terjadi dalam pembentukan suatu instansi.
"Kalau masalah setuju atau tidak setuju kan proses," ujar Husein saat dihubungi, Rabu (18/10).
Ketidaksetujuan JK, menurut Husein tidak bisa langsung menghentikan langkah Polri dalam membentuk Densus Tipikor. Selain itu, hal tersebut dinilainya tidak lantas memberikan pengaruh yang besar pada proses pembentukan instansi anti rasuah ini.
"Masalahnya bukan pengaruh tapi sejauh mana kajian ini. Kalau pandangan saya dibutuhkan (Densus Tipikor), kan kemarin sudah ada, tinggal diperkuat," kata dia.
Bila dilihat dari perspektif sumber daya, pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi diperlukan. Menurut dia, sumber daya yang dimiliki kepolisian dapat menunjang KPK dal format Densus Tipikor. "Kita melihat perspektif dari sumber daya itu oke, polisi selama ini kan sudah menjalankan juga," kata Umar Husein, Rabu (18/10).
Namun, pembentukan Densus Tipikor ini menurut dia masih belum jelas. Umar menggarisbawahi hubungan densus tipikor dan kejaksaan. Seperti diketahui Kejaksaan menolak untuk bergabung dengan Polri. Kejaksaan menolak karena tidak adanya payung hukum dan penyatuan tersebut akan melanggar KUHAP.
"Kalau mau ditolak, KPK juga satu atap, sama saja, kan tinggal dibuat UUnya, yang menjadi masalah, itu kan dalam artian menyalahi KUHAP," kata dia.
Husein menekankan, yang perlu ditekankan adalah pembagian tugas dengan instansi anti korupsi lainnya. Dalam hal ini, menurut dia yang paling optimal adalah KPK menangani kasus besar, Densus menangani kasus hingga ke level bawah, sedangkan Kejaksaan khusus untuk perkara penuntutan.
"Ini kan upaya mendukung KPK pusat juga, kan kemarin dinilai kurang. Supaya fair lembaga sejenis ini dengan biaya disesuaikan, tapi pembagian tetap harus ada," ujar dia.