REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Klaim penguasaan lahan oleh perusahaan atas Pulau Pari, Kepulauan Seribu, yang menccapai 90 persen dirasa aneh oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) KP No 39/2004 dan Permen ATR No. 17/2016 tentang Penataan Pertanahan di Pulau-pulau dan Wilayah Pesisir, lahan yang dapat dimanfaatkan itu hanya 70 persen.
"Sudah ada peraturan untuk pulau-pulau kecil, kita ada Permen KKP No 39/2004, pulau itu yang bisa dimanfaatkan 70 persen. Sisanya, 30 persen itu area publik. Jadi itu sudah melanggar kalau satu pulau dikuasai 90 persen," ungkap Kasubdir Pulau-Pulau Kecil dan Terluar KKP Ahmad Haris dalam diskusi di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (19/10).
Karena itu, Haris mengatakan, perlu ditelusuri ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) bagaimana proses itu bisa terjadi. Padahal, jelas dia, secara de facto, masyarakat yang tinggal di sana sudah menguasai dari awal. "Kok secara de jure sekarang masyarakat tidak menguasai, sudah berpindah. Kalau begitu saya setuju dengan istilah ada dugaan perampokan," kata dia.
Haris menyebutkan, mestinya jika BPN mengeluarkan sertifikat ada dua hal yang tercakup di dalamnya, yaitu bukti penguasaan fisik dan ada bukti secara de jure. Mungkin, lanjut dia, karena masyarakat Pulau Pari yang tidak mengerti akan aturan tersebut, maka mereka tak punya bukti secara de jure itu. "Tapi secara de facto mereka menguasai. Tapi kenapa ini bisa terjadi pengalihan menjadi ke korporasi," kata dia.
Selain aturan yang mengatur pemanfaatan lahan pulau 30 persen untuk publik, pantai yang ada pun tak boleh dimiliki oleh perusahaan. Karena itu, menurut Haris, pantai tidak dapat disertifikatkan.