REPUBLIKA.CO.ID, MONROVIA — Mantan bintang sepak bola George Weah memenangi putaran pertama pemilihan presiden Liberia dengan 38,4 suara. Komisi pemilihan di LIberia mengatakan mantan pemain AC Milan itu unggul sepuluh poin atas Wakil Presiden Joseph Boakai yang akan dihadapinya pada putaran selanjutnya bulan depan.
Hasil-hasil penghitungan suara resmi memperlihatkan Boakai memenangi 28,8 persen suara, membuat kedua kandidat ini unggul besar atas kebanyakan kandidat lainnya. Boakai mewakili partai Johnson Sirleaf yang sedang berkuasa, Partai Persatuan.
Rakyat Liberia perlahan-lahan memperbesar peluang satu-satunya orang Afrika yang pernah memenangi penghargaan Pemain Terbaik Dunia dan Ballon d'Or menggantikan pemenang Nobel Perdamaian Ellen Johnson Sirleaf sebagai pemimpin mereka.
Weah (51) meniti karier di politik setelah ia ‘pulang kampung’ seusai menjalani karier sepak bola internasional. Sebagai pendatang baru di dunia politik pada 2005, ia kalah dari Johnson Sirleaf pada pemilihan presiden. Namun, dia telah bertugas sebagai senator dari Kongres oposisi untuk Demokratik Perubahan sejak 2015.
Pengacara Charles Brumskine mengatakan suara yang ada telah dicurangi. Namun, para pengamat menilai proses ini berjalan dengan adil, berada di urutan ketiga dengan 9,6 persen.
Raja George, panggilan Weah dari para pendukungnya, merupakan sosok yang populer di kalangan pemuda dan kaum yang terpinggirkan, khususnya di permukiman-permukiman kumuh di Ibu Kota Liberia, Monrovia. Banyak di antara mereka merasa mereka tidak mendapatkan keuntungan dari pemulihan pascaperang Liberia, sentimen yang diperhitungkan saat menentang Boakai.
Namun, Weah sejauh ini belum mengeluarkan kebijakan yang memuaskan dan akan menghadapi masa berat untuk memenuhi harapan tinggi dari situasi ekonomi yang sulit. Sekarang ini, rendahnya harga komoditas-komoditas yang merupakan ekspor utama Liberia.
Johnson Sirleaf merupakan mantan menteri keuangan yang bekerja untuk Citibank dan Bank Dunia selama bertahun-tahun saat menjalani masa pengasingan setelah melarikan diri dari Liberia ketika terjadinya kudeta. Dia mendapat Penghargaan Nobel 2011 untuk keberhasilannya menumbuhkan perdamaian setelah perang saudara selama 15 tahun berakhir pada 2003.
Banyak rakyat Liberia yang memujinya karena keberhasilannya menciptakan kondisi yang memungkinkan diwujudkannya pemilihan umum ini untuk menghadirkan transfer kekuasaan secara demokratis untuk pertama kalinya di Liberia selama tujuh dekade. Namun ia tidak mampu secara efektif menangani masalah korupsi atau mengeluarkan jutaan orang dari jerat kemiskinan.
Ketika virus Ebola menghantam ekonomi dan menjatuhkan harga bijih besi, situasi menjadi semakin buruk. Jalan-jalan rusak merepotkan warga Liberia selama musim hujan, dan hanya sedikit rakyat Liberia memiliki kekuatan ekonomi di luar kota-kota utama.