REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa kasus pemberian keterangan palsu terkait kasus korupsi proyek KTP elektronik (KTP-el) Miryam S Haryani, dengan hukuman delapan tahun penjara. Miryam juga dituntut hukumandenda Rp 300 juta subsider enam bulan.
"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan memberikan keterangan tidak benar di persidangan. Adanya kesengajaan dan kehendak pelaku untuk memberikan keterangan tidak benar. Jaksa menuntut delapan tahun penjara dikurangi masa tahanan yang dijalani terdakwa dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan," ujar JPU KPK Kresno Anto Wibowo saat membacakan tuntutan di ruang persidangan Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (23/10).
Miryam dijerat Pasal 22 juncto Pasal 35 UUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.
Menurut Kresno, sesuai Pasal 35 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor, maka saksi wajib memberikan keterangan yang benar dan sebenarnya. Dilarang berbohong karena sudah bersumpah. Sementara, Miryam memberikan keterangan tidak benar, di mana dalam fakta persidangan, memberikan keterangan telah ditekan dan diancam penyidik KPK dan dijadikan alasan mengubah semua isi BAP dalam penyidikan.
Setelah mendengar tuntutan jaksa, Ketua Majelis Hakim Franky Tampubuwan pun menunda persidangan sampai 10 hari ke depan agar kuasa hukum Miryam bisa menyiapkan pleidoi. Sementara kuasa hukum Miryam, Aga Khan meminta agar penyusunan pleidoi selama dua pekan. "Sidang ditunda sampai 10 hari ke depan dan akan kembali digelar pada 02 November 2017," tegas Franky.
Pada persidangan sebelumnya, politikus Hanura itu tetap mengatakan dirinya tertekan saat memberikan keterangan di depan penyidik KPK. "Saya tetap cabut (BAP karena merasa tertekan dan stres. Saya dikonfrontasi oleh tiga penyidik, Novel, Damanik dan Pak Irwan saat itu," kata Miryam dalam sidang pekan lalu.
Miryam pun mengaku mencabut BAP atas kemauannya sendiri. Menurut dia, pemeriksaan penyidik KPK terkesan mengarahkan dirinya. "Saya karena tertekan dan stres berat, ya. Saya asal ngomong saja pengin cepat-cepat pulang. Dingin ruangannya itu kecil juga. Penyidiknya ngarahin, saksi lain sudah ngaku loh," kata dia.
Menurut Miryam, keterangan yang ia sampaikan saat menjadi saksi untuk terdakwa lain, Irman dan Sugiharto merupakan keterangan yang sebenarnya. Sementara, apa yang ia jelaskan dalam BAP justru tidak benar, lantaran adanya tekanan dan intervensi oleh penyidik KPK.
Sementara menurut Jaksa, Miryam dengan sengaja mencabut semua keterangan yang pernah ia berikan dalam BAP. Salah satunya, terkait penerimaan uang dari mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto. Dalam persidangan, anggota Fraksi Partai Hanura itu mengatakan, sebenarnya tidak pernah ada pembagian uang ke sejumlah anggota DPR RI periode 2009-2014, sebagaimana yang dia beberkan sebelumnya kepada penyidik.