Jumat 27 Oct 2017 18:26 WIB

Ritel Tumbang karena tak Ikuti Perubahan Selera Konsumen

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Budi Raharjo
Sejumlah calon pembeli berdiri mengantre di depan pintu masuk pusat perbelanjaan Lotus yang masih tertutup untuk berbelanja barang dengan potongan harga di Jalan K.H. Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Rabu (25/10).
Foto: Antara/Widodo S Jusuf
Sejumlah calon pembeli berdiri mengantre di depan pintu masuk pusat perbelanjaan Lotus yang masih tertutup untuk berbelanja barang dengan potongan harga di Jalan K.H. Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Rabu (25/10).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Asosiasi pengusaha ritel Indonesia (Aprindo) menilai tumbangnya sejumlah gerai ritel modern dalam beberapa bulan terakhir disebabkan oleh ketidakmampuan perusahaan dalam mengikuti perubahan pola konsumsi di masyarakat. Padahal, kata dia, dengan adanya perubahan tersebut, peritel harus melakukan inovasi agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dan selera konsumen.

"Kita tidak bisa melawan arus kemauan konsumen. Siapa pun yang tidak mengikuti perubahan, pasti akan tergilas," ujar Sekjen Aprindo Solihin, saat dihubungi Republika, Jumat (27/10).

Menurut Solihin, ada dua kunci utama dalam bisnis ritel, yakni pelayanan dan efisiensi. Ia menjelaskan, peritel harus senantiasa meningkatkan pelayanannya agar dapat terus memenuhi selera dan kebutuhan konsumen.

Sementara, terkait efisiensi, Solihin mengaitkannya dengan perubahan tren belanja dari offline ke online. Dengan memasuki platform niaga online, kata dia, peritel dapat melakukan efisiensi yang besar.

Lalu, seperti apa prediksi pertumbuhan industri pasca tumbangnya sejumlah gerai ritel modern dalam beberapa bulan terakhir? Sampai akhir tahun 2017 mendatang, Aprindo optimistis industri masih dapat tumbuh. Namun begitu, ia memperkirakan industri ritel secara keseluruhan hanya akan tumbuh 2-3 persen dibanding tahun lalu.

Ekonom dari institute for development of economics and finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebut, saat ini memang tengah terjadi perubahan pasar konsumen, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Perubahan tersebut dipicu oleh bergesernya usia konsumen yang saat ini didominasi oleh kalangan muda usia 18-35 tahun. Artinya, selera pasar juga ikut berubah. Sebab, generasi yang menguasai pasar saat ini lebih menggandrungi gaya hidup nongkrong ketimbang belanja produk fesyen.

Karenanya, kata Bhima, gerai-gerai ritel yang tak mampu membaca pergeseran pola konsumsi satu per satu bertumbangan. Selain itu, faktor lain seperti lokasi yang tak lagi strategis, perencanaan bisnis yang kurang matang dan biaya operasional yang terlalu besar juga ikut menjadi penyebab tumbangnya sejumlah gerai ritel modern.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement