REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Data dan Informasi Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Bakamla, Laksamana Pertama Bambang Udoyo didakwa menerima suap Rp 1 miliar dalam proyek pengadaan monitoring satellite.
"Bambang Udoyo didakwa menerima suap dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah melalui dua anak buahnya yaitu Hardy Stefanus dan Mohamad Adami Okta," kata oditur militer Brigjen Rachmad dalam sidang di Pengadilan Militer Jakarta, Rabu (1/11).
Penyuapan itu bertujuan agar para pejabat Bakamla memenangkan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) yang ada dalam kendali Fahmi dalam pengadaan monitoring satellite senilai total Rp 222,43 miliar.
"Pada 25 November 2016, Hardy Stefanus dan Mohamad Adami Okta menemui Novel Hasan di Bakamla. Dalam pertemuan itu Hardy dan saksi Adami menyerahkan uang sebesar Rp 1 miliar kepada Novel Hasan. Beberapa hari berikutnya pada Desember 2016, pukul 10.00, di ruang terdakwa di Bakamla, Mohamad Adami dan Hardy menyerahkan uang kepada terdakwa sebesar 100 ribu dolar Singapura yang dimasukkan dalam amplop," kata Rachmad.
Pada sore harinya, Bambang menghitung uang tersebut dan selanjutnya dibawa pulang ke rumah dan diserahkan ke istrinya dengan mengatakan "Mah, ini uang dari Bakamla dan simpan saja dulu".
Kemudian pada malam harinya, Bambang menghitung dan mengonfirmasi uang itu dengan nilai rupiah, dan jumlahnya kurang dari Rp 1 miliar. padahal dari informasi Kepala Bakamla, dia akan memperoleh Rp 1 miliar.
"Karena jumlah uang yang diterimanya kurang dari Rp 1 miliar, maka pada 8 Desember 2016, terdakwa mengirim pesan melalui WA kepada Hardy bahwa uang yang diserahkan kurang dari Rp 1 miliar. Hardy kemudian meneruskan ke Adami Okta dan Adami meminta Hardy mengambil kekurangan uang itu di PT Merial Esa. Setelah mengambil uang itu, pada 8 Desember, di kantor Bakamla, Hardy menyerahkan uang sebesar 5.000 dolar Singapura dan diterima terdakwa," ungkap oditur militer
Uang yang diterima selanjutnya kembali diserahkan kepada istrinya, Andi Marfitri. Setelah itu ditukar dan digunakan dengan rincian: 5.000 dolar Singapura menjadi Rp 46 juta, sebesar Rp 10 juta digunakan untuk yayasan yatim piatu di Hatirahayu Bekasi, Rp 5 juta untuk masjid Mutakin di komplek TNI Al Bogor, Rp 26 juta untuk yayasan yatim piatu di Tasikmalaya, Rp 5 juta untuk yayasan Baitul Yatim di Surabaya.
Selanjutnya sebesar 20 ribu dolar Singapura ditukarkan menjadi Rp 189 juta dan ditambah uang pribadi Bambang sebesar Rp 10 juta menjadi Rp 199 juta oleh Andi Martifitri ditukarkan ke dolar AS menjadi menjadi 15.000 dolar AS dan rencananya akan digunakan untuk umrah keluarga.
Bambang adalah prajurit TNI sejak 1984 dan sudah ditahan sejak 5 Januari sampai 24 Januari 2017. Bambang dibebaskan dari penahanan oleh Panglima TNI sejak 25 Januari 2017.
Pembacaan dakwaan dihadiri oleh tiga oditur militer yaitu Brigjen Rachmad, Brigjen Ahmad Dendy dan Brigjen Murod. Bambang didampingi penasihat hukum dari dinas hukum TNI AL yaitu Letkol Yanto suryanto dan Letkol Dedi Endang Susilo. Sidang dipimpin oleh hakim Birjen Deddy Suryanto, Marsekal Madya Priyo Mustiko dan Brigjen Apel Ginting.