Senin 13 Nov 2017 17:18 WIB

Dunia Bisa Hidup tanpa Bahan Bakar Fosil

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Dwi Murdaningsih
Investasi di bidang bahan bakar fosil tidak lagi jadi pilihan utama bagi Universitas Sydney.
Foto: abc news
Investasi di bidang bahan bakar fosil tidak lagi jadi pilihan utama bagi Universitas Sydney.

REPUBLIKA.CO.ID, BONN -- Dunia hidup tanpa bahan bakar fosil, ternyata memungkinkan. Apalagi, kesadaran untuk menggunakan energi bersih kian meningkat dan harnya makin murah. Menurut peneliti Lappeenranta University of Technology (LUT) Finlandia, Christian Breyer dekarbonisasi sistem kelistrikan secara penuh dengan harga yang murah pada 2050 dimungkinkan. Transisi energi tidak lagi diragukan di sisi ekonomi.

"Persoalannya adalah keinginan politik," ujar Breyer saat memaparkan hasil risetnya bersama tim dalam pertemuan tahunan Konferensi Bersama di bawah kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (COP23-UNFCCC) seperti dikutip Deutsche Welle, pekan lalu.

Di masa depan, pasokan energi baterai dan solar sel akan jadi andalan. Pasokan energi sel solar diproyeksi naik dari 37 persen pada 2030 menjadi 70 persen pada 2050. Sementara sumber energi angin akan berkontribusi sebesar 18 persen, energi dari air delapan persen, dan bioenergi dua persen pada 2050. Komposisi ini bisa berbeda di tiap kawasan, tergantung potensinya. Riset ini juga sudah mempertimbangkan potensi kenaikan penduduk bumi pada 2050.

"Jaminan akses energi yang terjangkau siang dan malam adalah keharusan," kata Breyer.

Perubahan sumber energi ini tak cuma berdampak positif bagi lingkungan, tapi juga lapangan kerja. Akan ada 19 juta tenaga kerja yang diserap di sektor energi. Bila sistem kelistrikan hanya ditopang energi terbarukan, emisi akan berkurang hingga 60 persen pada 2025 bahkan hingga 80 persen pada 2030.

Menurut ekonom iklim German Institute for Economic Research Berlin (DIW) Claudia Kemfert, skenario semacam itu realistis. Apalagi sumber energi terbarukan makin murah. Dunia sudah menyaksikan berbagai studi yang dulu meremehkan energi terbarukan sehingga perubahan iklim berjalan lebih cepat dari diprediksi.

"Sekarang kita melihat tiga dekade ke depan dimana semua sumber energi adalah gabungan energi terbarukan," ucapnya.

Perwakilan Asosiasi Energi Angin Dunia Stefan Gsanger berharap semua skenario itu mendapat dukungan politik di seluruh dunia.

Anggota Parlemen Uni Eropa Arne Lietz mengatakan, skenario itu harusnya membuat para politisi berpikir. Para pemilik modal terus memengaruhi pemerintah untuk berinvestasi pada energi fosil dan mengacaukan ekonomi.

Dalam pertemuan tingkat tinggi perubahan iklim COP23 di Bonn ini, para delegasi mencoba mencari solusi menekan agar kenaikan suhu bumi bisa ditekan di bawah dua derajat Celcius. Ini adalah pertemuan tahun ke tiga setelah COP21 dilakukan di Paris pada 2015 yang menghasilkan Kesepakatan Paris dan COP22 digelar di Maroko pada 2016.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement