REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketentuan Pasal 173 ayat (1) dan (3) UU No 7/2017 tentang Pemilu dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan atau election fairness. Demikian dinyatakan Direktur Eksekutif Yayasan Perludem, Titi Anggraini, saat memberikan keterangan sebagai Ahli yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (14/11).
Pasal 173 ayat (1) dan (3) UU No. 7 Tahun 2017 selengkapnya berbunyi: Ayat 1: Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.
Ayat 3: Partai Politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu.
Keterangan itu disampaikan terkait pengajuan uji materi atau judicial review oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ke MK.
Titi mengatakan, parpol yang sudah lolos verifikasi untuk Pemilu 2014 seharusnya tidak langsung dianggap lolos untuk Pemilu 2019. Sebab, verifikasi untuk Pemilu 2014 dilakukan pada 2012.
Dalam 5 tahun terakhir, ada peningkatan jumlah penduduk dan daerah otonomi baru yang harusnya mempengaruhi proses verifikasi. "Jadi data-datanya sudah kedaluwarsa," ujar Titi seperti dalam keterangan persnya kepada Republika.co.id.
Titi menyatakan, semua peserta mesti mendapat perlakuan yang sama dari penyelenggara pemilu pada setiap tahapan dan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. "Pasal ini menyebabkan ketidakadilan dan perlakuan tidak sama kepada dua pihak," ujar kata Titi di Mahkamah Konstitusi.
Dalam sidang, Titi juga menyoal Pasal 173 ayat (2) huruf e UU Pemilu yang menyebutkan, “Partai Politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.”
Titi menganggap, pasal tersebut tidak konsisten dan tidak sejalan dengan komitmen tindakan khusus sementara atau affirmative action sebagaimana diatur dalam Pasal 245 dan Pasal 246 ayat (2) UU yang sama.
Seharusnya, lanjut Titi, keterwakilan perempuan sekurangnya 30% juga diberlakukan pada kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Alasannya, kepengurusan partai politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang menjadi muara kaderisasi untuk rekrutmen bakal calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Inkonsistensi UU Pemilu dalam melaksanakan tindakan afirmasi selain berdampak pada ketidakpastian hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan politik bagi perempuan.
“Juga mengakibatkan terjadinya apa yang kami sebut “pencomotan perempuan” untuk daftar calon rekrutmen calon anggota DPRD untuk memenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30% pada Pemilu 2014 lalu,” kata Titi.
Seusai sidang, Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, mengatakan, “Jika mendengarkan keterangan ahli, Insyaallah, nanti ada keputusan bahwa semua partai tanpa kecuali harus mengikuti verifikasi faktual yang dilakukan KPU untuk mengikuti Pemilu 2019.”
Soal isu penambahan biaya jika semua partai harus melakukan verifikasi faktual, Toni mengatakan, KPU pernah bilang ini tak mempengaruhi anggaran. “Mau berapa pun, biayanya sama saja. Kan sistemnya paket. Kalau menambah beban pekerjaan, iya. Tadi Ali juga mengatakan, demi keadilan, alasan biaya tidak relevan,“ kata Toni.
Terkait keterwakilan perempuan 30% di kepengurusan, Toni menyatakan, mesti ada affirmative action dari hulu ke hilir. Tidak hanya di pusat, tapi juga di provinsi dan kabupaten/kota.
“Perlu diingat, dalam sistem kepartaian kita yang elitis dan oligarkis, keputusan-keputusan berasal dari pimpinan partai. Jika perempuan tidak ada di sana, atau kurang dari 30% perempuan di kepengurusan, maka urusan kesehatan ibu atau gender mainstreaming yang kita gagas tidak akan terwujud. Ini alasan PSI mengajukan JR, agar keputusan publik melibatkan lebih banyak perempuan," kata Toni.