REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada (16/8) sampai dengan ((22/8) lalu terhadap 1.540 responden di 34 provinsi, ditemukan masih tingginya praktik korupsi yang dilakukan pegawai pemerintahan. Probabilitas adanya tindak pidana korupsi oleh pegawai pemerintahan paling besar terjadi ketika warga berurusan dengan polisi.
Dari 14,9 persen responden yang pernah berurusan dengan polisi, sebanyak 46,1 persen di antaranya mengaku pernah diminta memberi hadiah atau uang di luar biaya resmi. Begitu pun probabilitas melakukan gratifikasi atau memberikan hadiah atau uang kepada polisi yakni 40,4 persen.
Selain polisi, praktik korupsi sering terjadi saat masyarakat berhubungan dengan pihak pengadilan atau saat mengurus dokumen kependudukan. Sebanyak 26,9 persen responden yang pernah mengurus dokumen kependudukan mengaku pernah diminta gratifikasi. Kemudian 39,6 persen responden yang sempat berurusan dengan pengadilan berkata pernah dimintai uang oleh pegawai pengadilan.
Survei LSI menunjukkan, masih maraknya praktik korupsi ini karena adanya faktor lain yang secara signifikan menjadi determinan perilaku korup warga yakni pengalaman dimintai uang atau hadiah di luar biaya resmi ketika berhubungan dengan aparat negara dan tingkat pendidikan.
"Semakin warga bersikap memaklumi praktik korupsi, semakin korup juga perilaku mereka. Pengalaman dimintai uang atau hadiah oleh aparat akan meningkatkan intesitas warga perliaku korup, sebaliknya tingkat pendidikan akan menurunkan perilaku korup,"" ujar Direktur Eksekutif LSI Kuskridho Ambardi di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Rabu (15/11).
Sementara pada tingkat sikap terhadap korupsi juga dipengaruhi oleh kondisi demografi, yakni perbedaan antara desa dan kota, umur, dan pendidikan. "Mereka yang tinggal di pedesaan dan berusia lebih tua cenderung lebih pro terhadap korupsi, sebaliknya mereka yang berpendidikan cenderung lebih antikorupsi," ucapnya.