Rabu 15 Nov 2017 19:15 WIB

Pengacara Akui Gugatan ke MK untuk Tunda Pemeriksaan Setnov

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham bersama penasihat hukum Fredrich Yunadi menemui Ketua DPR Setya Novanto di Gedung DPR pada Rabu (15/11). Kehadiran keduanya diketahui untuk membahas persoalan hukum yang menjerat Novanto dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-el.
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham bersama penasihat hukum Fredrich Yunadi menemui Ketua DPR Setya Novanto di Gedung DPR pada Rabu (15/11). Kehadiran keduanya diketahui untuk membahas persoalan hukum yang menjerat Novanto dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-el.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR Setya Novanto, hari ini tidak memenuhi panggilan KPK sebagai tersangka kasus korupsi proyek KTP elektronik (KTP-el). Menurut penasihat hukum Novanto, Fredrich Yunadi, kliennya memiliki hak untuk mangkir lantaran KPK juga bersikap sama ketika dipanggil oleh Pansus Angket DPR.

Fredrich mengakui, selain alasan izin Presiden dan hak imunitas anggota DPR, uji materi UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK) juga menjadi dasar Novanto tidak memenuhi panggilan KPK. Fredrich meniru langkah KPK yang tidak memenuhi panggilan Pansus Angket DPR dengan alasan tengah menggugat UU MD3 ke MK.

"KPK itu resmi membuat surat kepada pimpinan DPR yang meminta supaya panggilan untuk pansus ditunda hingga ada putusan MK," kata Fredrich, Rabu (15/11).

Karenanya, ia kembali menantang KPK jika mempermasalahkan alasan kliennya mangkir dari panggilan pemeriksaan. "Sekarang saya tanya,  kalau KPK tidak bersalah, kenapa tidak berani datang ke (Pansus) Angket," ujar Fredrich.

Pada Jumat (10/11) KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. KPK menduga Novanto pada saat proyek KTP-el bergulir Novanto yang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama dengan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja, pengusaha Andi Agustinus dan dua pejabat Kemendagri Irman, dan Sugiaharto, menguntungkan diri sendri atau korporasi atau orang lain dengan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan dan kedudukan yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement